REPUBLIKA.CO.ID,CIPAYUNG -- Apa sih ukuran pendidikan Indonesia? Pendidikan unggul dipandang dari sisi pengelola bila sarana belajar mengajar terbaik, materi ilmu pengetahuan diajarkan termaju, dan motivasi belajar.
Untuk mengukur keunggulan relatif suatu pendidikan formal seperti sekolah dan universitas atau pendidikan non formal seperti pelatihan dan seminar, bisa dengan mempertanyakan tiga unsur esensial yang saling berkaitan. Bangunan sekolah reyot atau alat praktek tak ada, ilmu pengetahuan diajarkan ketinggalan, atau guru sering tidak masuk mengajar, semua pasti buruk hasilnya. Karenanya ada dana operasional memperbaiki sarana sekolah dan uji kompetensi untuk mendapatkan tunjangan sertifikasi.
Di Indonesia cukup banyak sekolah dan universitas masuk kriteria memiliki sarana bagus, kurikulum pelajaran mencontoh negara maju dan jumlah pengajar dengan gelar bergengsi lulusan luar negeri.
Sehingga nampaknya terlihat pendidikan Indonesia sudah unggul.
Namun dalam hal apa pun, termasuk pendidikan, ukuran keunggulan sesungguhnya adalah kualitas, bukan kuantitas. Jika hanya copy-paste ilmu pengetahuan dan teknologi dari negara atau pengajar lain kemudian diajarkan kembali, tidak mungkin unggul dibanding negara atau pengajar asalnya. Tanpa mencari sesuatu hal yang baru .
Contoh, dari hasil penelitian, tak sedikit mahasiswa yang hanya mencari gelar dengan jalan pintas seperti, membeli skripsi dengan membayar uang sebesar lima juta. Sedangkan dalam konteks pelajar SMA dalam menghadapi Ujian Nasional tak sedikit dari mereka yang bersantai-santai karena hanya mengandalkan kunci jawaban yang mereka beli dengan harga Rp 75.000 sampai Rp 100.000.
Masalah yang sering menimpa siswa-siswi di kota-kota besar yakni minat belajar. Jika di daerah-daerah pelosok siswa-siswinya mempunyai semangat yang besar untuk belajar walau dengan fasilitas minim, di kota-kota besar kebalikannya.
Di kota-kota besar mayoritas sarana pendidikannya lebih bagus, komplit serta nyaman. Akses yang bagus serta tenaga pendidik yang berkualitas. Tetapi justru dengan sarana “mewah” tersebut siswa-siswi-nya mayoritas tak memiliki minat belajar yang tinggi.
Ini bisa dilihat dari beberapa faktor, pertama siswa-siswi tersebut terlalu asik dengan kemajuan teknologi sehingga menurunkan minatnya akan belajar. Lalu dari sisi lain, terdapat siswa-siswinya yang lebih memilih membantu kedua orang tuanya mencari nafkah ketimbang untuk pergi sekolah, dikarenakan kondisi ekonomi. Tentunya hal ini sangatlah aneh, yang di daerah terpencil dengan fasilitas minim mati-matian berjuang demi pendidikan mereka tetapi yang di kota malah kurang sekali minat belajarnya.
Penulis: Dian Nugraha (SMAN 22), Steffani Agustin (SMAN 12), Lilis Uswatun Hasanah (SMAN 58), Yuliani dwi Pratiwi (SMAN 88)