REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Malapetaka 15 Januari (Malari) tahun 1974 adalah hari di mana terjadi kerusuhan yang berkaitan dengan kedatangan PM Jepang Tanaka. Gerakan Mahasiswa yang dipelopori Hariman Siregar dari Dewan Mahasiswa UI saat itu menolak kedatangan PM Jepang dengan alasan Indonesia jangan terlalu bergantung kepada modal asing.
Itu adalah kejadian 49 tahun lalu. Peringatan Malari yang bersamaan dengan HUT Indemo (Indonesia Demokrasi Monitor) yang ke-23 digelar di Taiam Ismail Marzuki (TIM pada Senin siang 16/01/23. Ratusan aktivis dari berbagai angkatan dan daerah tumplek hadir memadati ruangan. Yang mencolok pada peringatan itu ada spanduk puth yang dibentangkan di dalam ruangan resepsi, yakni meplesetkan pernyaataan Raja Prancis Louis XIV, L'etat C'est moi (negara adalah saya) menjadi: negara bukan milik moyangmu!
Bursah Zarnubi, pendiri Humanika yang memimpin acara itu mengatakan bahwa tema peringatan acara hari ini adalah Menolak Lupa: Pertahankan Demokrasi. Tema itu menjadi sangat penting karena saat ini ada upaya-upaya yang mau menyelewengkan demokrasi. Ide penundaan pemilu dan perpanjangan 3 periode masa jabatan saat ini kembali digaungkan. Menurut Bursah, siapa yg menginginkan perpanjangan jabatan adalah mau merusak demokrasi.
Menguatkan tema tersebut, pelaku utama Peristiwa Malari Hariman Siregar juga merasa aneh ada keinginan 3 (tiga) periode dan tunda pemilu dengan alasan ngga ada duit. Kalau ngga ada duit kenapa malah bangun IKN? Hariman menceritakan saat menjumpai Bung Hatta bahwa yang dimaksud dapat dipilih kembali dalam UUD 1945 asli itupun semangatnya adalah 2 (dua) periode. Karena itu Hariman merasa aneh saat mendapat info bahwa Jokowi masih mau lagi setelah 2024 nanti.
Dalam kesempatan itu juga akademisi ilmu politik Dr. Sidratahta Mukhtar, mengatkan bahwa perpanjangan masa jabatan presiden itu adalah ancaman dalam konsolidasi demokrasi. Seharusnya setiap presiden itu mendorong agar demokrasi menjadi lebih matang dan kareanya preiden harus memberi arahan untuk kematangan demokrasi itu. Hal ini pernah dilakukan oleh Presiden Habibie dan Gus Dur.
Sementara itu akademisi ilmu hukum yang juga aktivis Chudri Sitompul SH mengingatkan bahwa Hitler pun dipilih secara demokratis dan menggunaan demokrasi menjadi sangat otoriter. Karena itulah agar demokrasi tidak diselewengkan, maka esensi demokrasi yang berupa pembatasan kekuasaan dan kontrol masyarakat dan penghormatan kepada hak asasi harus terus dipertahankan dan dikembangkan. Bila ada penyelewengan maka masyarakat sipil yang haru berdiri di barisan terdepan.
Masih dalam acar itu, Refly Harun juga mengatakan bahwa Ambang Batas Pilpres 20 persen harus dihapuskan. Harusnya Presiden bisa mengeluarkan Perppu untuk menghapus itu. Bila desakan dari masyarakat sangat kuat dalam waktu dekat ini pun Presiden bisa keluarkan Perppu itu.
Senada dengan Refly yang menggugat sistem pemilu, Rizal Ramli, tokoh aktivis mahasiswa 78 yang beberapa kali masuk dalam pemerintahan bahwa anggota KPU wajib diganti oleh perwakilan partai sehingga masing-masing anggota KPU akan mengawal suaranya. Menurut Rizal Ramli Jokowi yang tidak pernah berjuang untuk demorasi dan bisa mengantarkannya ke kuasaan sekarang malah memreteli demokrasi. Bila begini terus sebaiknya Jokowi turun saja karena mempreteli demokrasi.
Penyampaian yang berapi-api dari Rizal Ramli langsung disambut oleh Jumhur Hidayat, tokoh aktivis mahasiswa tahun 80-an, agar kekecewaan semua aktivis terhadap keadaan hari ini, dapat disalurkan dengan ikut bersama-sama turun ke jalan. "Kebetulan beberapa kelompok masyarakat sipil termasuk kaum buruh, petani, masyarakat adat, aktivis lingkungan hidup, mahasiswa dan sebagainya merencanakan mengepung DPR pada tanggal 14 Februari ini,'' katanya.