REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Serangkaian data ekonomi papan atas dari China, termasuk pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) kuartal keempat dinilai akan menjadi sorotan di Asia pada hari ini, Selasa (17/1/2023). Jumlahnya diperkirakan tidak akan bagus.
Meski begitu, ini tidak berarti sentimen investor dan aset berisiko akan secara otomatis melemah. Investor mungkin menganggap angka-angka ini melihat ke belakang, atau bertaruh mereka akan memacu stimulus dan kebijakan ramah pertumbuhan dari Beijing.
Hanya saja dilansir Reuters pada Selasa (17/1/2023) itu memang terlihat seperti PDB Q4, serta data penjualan ritel Desember, investasi dan produksi industri bakal mengonfirmasi ekonomi terbesar kedua di dunia yang berakhir tahun lalu dengan pijakan sangat lemah. Untuk derajat berbeda-beda, semua diharapkan lebih lembut dari tindakan sebelumnya.
PDB diperkirakan akan berkontraksi 0,8 persen dari kuartal tiga, sehingga memberikan pertumbuhan tahunan hanya 1,8 persen pada periode Oktober sampai Desember. Lalu penjualan ritel diperkirakan turun 8,6 persen.
Ekonom yang disurvei oleh Reuters memperhitungkan ekonomi China tumbuh 2,8 persen tahun lalu secara keseluruhan, dan akan pulih menjadi 4,9 persen tahun ini. Transisi dari kebijakan nol Covid yang ketat dalam beberapa tahun terakhir akan sulit dalam waktu dekat karena lonjakan infeksi.
Pihak berwenang mengatakan pada Sabtu hampir 60 ribu orang dengan Covid meninggal di rumah sakit antara 8 Desember dan 12 Januari. Analis di UBS telah mencoba mengukur dampak pembukaan kembali China terhadap pasar karena harga investor dalam pemulihan yang akan datang.