Selasa 17 Jan 2023 14:33 WIB

Terus Impor, Kementan Diminta Fokus Produksi Pangan Tahun Ini

Perbedaan data antar instansi pemerintah persulit hadapi gejolak harga pangan.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Lida Puspaningtyas
Petani mengawasi proses panen padi menggunakan mesin di Bantul, Yogyakarta, Senin (16/1/2023). Kementerian Pertanian menyebutkan bahwa produksi komoditas pertanian padi melampaui target pemerintah pada 2022. Produksi padi mencapai 55,44 juta ton dari target 54,56 juta ton.
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Petani mengawasi proses panen padi menggunakan mesin di Bantul, Yogyakarta, Senin (16/1/2023). Kementerian Pertanian menyebutkan bahwa produksi komoditas pertanian padi melampaui target pemerintah pada 2022. Produksi padi mencapai 55,44 juta ton dari target 54,56 juta ton.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kinerja Kementerian Pertanian (Kementan) selama 2022 belum fokus ke perbaikan tata kelola pangan nasional. Padahal, Raker Komisi IV dan Kementan 22 Maret 2022 telah menyepakati kinerja harus fokus ke penyediaan pangan nasional.

Anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi PKS, Johan Rosihan mengatakan, Kementan harus pula membuat tata kelola pencapaian produksi pangan dalam jangka menengah dan panjang. Karenanya, ia meminta Kementan fokus ke produksi pangan nasional.

Baca Juga

Namun, selama 2022, masih terdapat banyak persoalan produksi yang diakibatkan keterbatasan anggaran. Lalu, selalu muncul kesenjangan antara ketersediaan dan kebutuhan pangan, sehingga ketergantungan impor terus meningkat setiap tahun.

Terjadi gejolak harga kedelai yang tidak terkendali dan kemelut persoalan pupuk bersubsidi yang berdampak harga pangan naik. Sehingga, pengeluaran rumah tangga terhadap pangan meningkat, menambah beban rumah tangga petani untuk usaha tani.

Di sisi lain, pemerintah tidak berdaya melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan produksi pangan karena keterbatasan anggaran sektor pertanian. Namun, saat ini Kementan belum memberi program unggulan 2023 agar kondisi pangan lebih baik.

Sepanjang 2022 diwarnai fluktuasi harga komoditas pangan yang tidak terkendali, selalu jatuh saat panen dan merugikan petani seperti gabah, harga jagung, cabai, bawang merah dan lain-lain. Namun, produk yang bersumber dari impor terus naik.

"Seperti daging dan kedelai harga terus melonjak yang berakibat merugikan pelaku UMKM serta merugikan konsumen karena daya beli yang semakin lemah akibat resesi ekonomi," kata Johan, Selasa (17/1/2023).

Ia meminta Kementan memberi kepastian strategi peningkatan produksi. Peningkatan produksi pertanian, terutama bahan yang banyak dikonsumsi dan diolah jadi olahan seperti tempe, tahu dan kecap harus benar-benar menjadi kebijakan Kementan.

Johan turut mempertanyakan kebijakan pangan yang mengutamakan pasokan impor seperti beras, bawang putih, daging, kedelai, gula dalam jumlah persentase yang begitu besar setiap tahun. Jika begitu, posisi pemerintah kini dipertanyakan.

Termasuk, dalam menjaga kepentingan pangan nasional agar terus berdaulat dan tidak tunduk kepada kepentingan importir dan keuntungan segelintir pihak. Ia turut menyinggung klaim swasembada beras dan mendapat penghargaan dari RRI.

Klaim semakin aneh karena pemerintah malah melakukan impor beras dan ini telah menimbulkan polemik serta penolakan luas dari komponen masyarakat. Selain itu, Presiden Jokowi mengklaim tidak melakukan impor beras dalam tiga tahun terakhir.

"Namun, kenyataannya realisasi impor beras malah dilakukan, di mana petani akan memasuki masa panen raya, ini sangat merugikan petani dan mencederai kedaulatan pangan nasional," ujar Johan.

Ia berpendapat, sampai saat ini pemerintah belum mampu melakukan penyempurnaan sistem data dan informasi di lapangan. Sehingga, akurasi kondisi pangan terus terpantau seperti kondisi stok pangan, fluktuasi harga dan distribusi pangan.

Johan menambahkan, situasi pangan pada 2022 terjadi banyak perbedaan data antar instansi pemerintah serta selalu tidak berdaya mengatasi gejolak harga komoditas pangan pokok. Menurut Johan, harga pangan masih terus melonjak tidak terkendali.

"Jangan sampai ini terjadi lagi akibat lemahnya kinerja dan koordinasi pemerintah," kata Johan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement