Jual Sapi, Rumah, Hingga Tanah Demi Bisa Bayar UKT
Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Yusuf Assidiq
Tangkapan layar penulis utas kasus Nur Riska, mahasiswa UNY yang memperjuangkan penurunan UKT hingga wafat, Ganta Semendawai (kanan) dalam sebuah diskusi bertajuk | Foto: Tangkapan layar
REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) penulis utas kisah Nur Riska, mahasiswi UNY yang berjuang menurunkan Uang Kuliah Tunggal (UKT) hingga akhir hayatnya, Ganta Semendawai, mengungkapkan ada banyak mahasiswa UNY yang kesulitan membayar UKT. Beberapa di antaranya bahkan ada yang sampai harus menjual hartanya agar tetap bisa berkuliah.
"Yang perlu di highlight korbannya bukan hanya satu, bertahun-tahun gitu, silakan liat di kolom komentar di thread saya, ada yang marah, ada yang sampai jual sapi, ada yang sampai jual rumah, ada yang datang ke rektorat ngajuin penurunan di caci maki, ada yang jual tanah, apa Anda nggak merasa sakit?" kata Ganta dalam diskusi bertajuk 'Ada Apa dengan UNY?' yang disiarkan secara daring, Senin (16/1/2023) malam.
Ganta memahami isu komersialisasi pendidikan bukanlah isu yang populer. Selain sudah berjanji dengan almarhumah Nur Riska bahwa dirinya akan menuliskan persoalan UKT tersebut, Ganta mengatakan utas yang ia buat merupakan luapan kemarahan yang selama ini terpendam.
"Lebih dari enam tahun saya kuliah disini dan saya gak pernah didengarkan, nggak ada yang peduli dengan isu ini, tapi itu terpendam, kemarahan itu terpendam dan terasa," ujarnya.
Ganta menuturkan apa yang ia lakukan berangkat dari rasa sakit yang akut dan pelik melihat kawan-kawannya yang mengalami masalah yang sama. Ia bersyukur usai utas yang ia tulis viral, ada pihak yang mengontak dirinya dan memberikan beasiswa kepada mahasiswa UNY yang kesulitan membayar UKT. "Artinya ini membangun solidaritas nasional," ujarnya.
Dirinya mengaku juga sudah menghubungi kawannya yang kesulitan membayar UKT kepada pihak yang mau memberikan beasiswa. "Dia langsung nangis saya juga nangis. Karena terlalu banyak rasa sakit di UNY, atau terlalu banyak yang disebabkan komersialisasi pendidikan gitu, karena ada mimpi yang direbut, ada cita-cita yang dicuri cuma karena kita nggak bisa akses hak dan kewajiban kita yang udah diamanatkan konstitusi," ungkapnya.
Pada diskusi tersebut juga dihadirkan secara virtual mahasiswa UNY yang juga korban UKT. Salah satu korban yang tak diungkapkan identitasnya menceritakan bahwa dirinya harus membayar UKT sebesar Rp 4,2 juta per semester. Sementara sang ayah hanya berjualan angkringan, dan ibunya merupakan buruh pabrik.
"Ketika saya di semester dua atau tiga, ketika tertabrak pandemi juga, ibu dan bapak saya menjual sapi sebagai tabungan kehidupan tadi untuk membiayai saya berkuliah," ungkap mahasiswa tersebut.
Dikatakan sapi itu tadinya dipersiapkan untuk biaya pendidikan adiknya, namun sang ayah dengan terpaksa harus menjual sapi tersebut untuk memenuhi kebutuhan perkuliahan dirinya. Selain menjual sapi, orang tuanya juga meminjam uang dari bank untuk memenuhi biaya perkuliahan dirinya.
Ia berharap agar kebijakan UKT di UNY berubah. "Kita mencoba mendorong agar kebijakan di UNY itu berubah agar jadi satu kampus yang lebih ramah buat teman-teman yang mau berkuliah di situ," ungkap dia.