REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Dalam bukunya 'Tasauf Modern', Buya Hamka membuat satu bagian khusus terkait mata pencaharian, yang diberi nama 'Apakah Mata Penghidupan Itu Membawa Bahagia Atau Celaka?'. Hamka mengakui, ada pekerjaan yang hanya melelahkan diri, dan ada pula pekerjaan yang membawa kebahagiaan.
Hamka menjelaskan, pekerjaan yang dilakoni setiap manusia dalam bentuk apapun, yang tentunya halal, adalah jalan bagi manusia untuk mencapai kejayaan. Kalau pekerjaan itu masih lekat dengan diri, dan yakin serta percaya pada pekerjaan yang dijalankan, maka selama itulah ada harapan untuk mencapai bahagia.
Menurut Hamka, ada dua hal yang membuat pekerjaan pas di hati. Pertama adalah mahir atau pandai pada bidang pekerjaan yang digeluti. Kedua, pandai mencari bentuk yang baru (inovatif dan kreatif) dalam menjalankan pekerjaan itu.
Orang yang mengerjakan suatu pekerjaan dengan sungguh-sungguh, kata Hamka, selalu berusaha mempermoderen, memperbaharui dan memperindah pekerjaan itu. "Kemahiran dan kesanggupan membuat bentuk baru, sangat sekali menimbulkan bahagia di dalam hati, walaupun hasilnya yang lahir tidak kelihatan pada waktu itu juga," ujar pendiri majalah Panji Masyarakat pada 1959 itu.
Namun, Hamka juga menyampaikan kecemasannya soal kehidupan wartawan karena tak sedikit media massa yang berdiri tidak di atas cita-cita. "Pada zaman kita kaum wartawan itu banyak yang tidak merasa bahagia, lantaran kebanyakan orang menerbitkan surat kabar tidak didasarkan suatu cita-cita, tetapi untuk mencari uang," ungkapnya.
Karena itulah, menurut Hamka, mereka tidak bisa memuaskan kemahiran dan teknik atau bentuk yang baru. Sebab, mereka takut bikin rugi perusahaan majikannya yang dapat menyebabkan hilangnya sesuap nasi.
"Sebab itu kebanyakan mereka menulis hal yang tidak sesuai dengan perasaan hati sendiri, hanya laksana mesin saja, menghasilkan tulisan dan menerima gaji tiap bulan. Lain dari ini... masa bodoh!," papar Hamka.
"Orang yang hidupnya hanya untuk mencari sesuap nasi, bukan karena kesenangan mengerjakan pekerjaan, amat sukarlah merasakan bahagia. Kian lama kian mundur tenaganya, dan kian kecewa hatinya," kata cucu Muhammad Amrullah itu, salah satu pemimpin Tarekat Naqsyabandiyah.