Rabu 18 Jan 2023 07:35 WIB

3.500 Orang Rohingya Bertaruh Nyawa Menyeberangi Lautan pada 2022

Jumlah tersebut naik drastis dari tahun sebelumnya yakni 700 orang.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Esthi Maharani
Pengungsi etnis Rohingya berbaris sebelum mendapatkan sarapan pagi di tempat pengungsian sementara yang disediakan oleh Pemerintah Daerah di Ladong, Aceh Besar, Senin (9/1/2023).
Foto: EPA-EFE/HOTLI SIMANJUNTAK
Pengungsi etnis Rohingya berbaris sebelum mendapatkan sarapan pagi di tempat pengungsian sementara yang disediakan oleh Pemerintah Daerah di Ladong, Aceh Besar, Senin (9/1/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA - PBB pada Selasa (17/1/2023) mengecam peningkatan jumlah pengungsi Rohingya yang hilang di lautan saat melarikan diri dari tanah air mereka di Myanmar atau Bangladesh tahun lalu. PBB menyerukan agar ada tindakan bersama untuk mencegah lebih banyak lagi pengungsi Rohingya yang akan mati.

Lebih dari 3.500 orang Rohingya mencoba menyeberangi lautan pada 2022. Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) mengatakan, jumlah tersebut naik drastis dari tahun sebelumnya, ketika sekitar 700 orang Rohingya melakukan perjalanan serupa.

“UNHCR telah mencatat peningkatan jumlah kematian yang mengkhawatirkan.  Setidaknya 348 orang meninggal atau hilang di laut pada 2022, menjadikannya salah satu tahun paling mematikan sejak 2014,” kata juru bicara UNHCR, Shabia Mantoo kepada wartawan di Jenewa, dilaporkan The Straits Times, Selasa (17/1/2023).

Mantoo mengatakan, pada 2022 sebanyak 3.040 Rohingya yang berusaha melarikan diri melalui laut mendarat di beberapa negara seperti Myanmar, Malaysia, Indonesia, dan Bangladesh. Hampir 45 persen dari mereka yang melakukan pelarian adalah perempuan dan anak-anak.

Mantoo mengatakan, sebagian besar kapal berangkat dari Myanmar dan Bangladesh. Hal ini menyoroti meningkatnya rasa putus asa pengungsi Rohingya di kedua negara tersebut.

“Mereka yang mendarat melaporkan bahwa mereka melakukan perjalanan laut yang berbahaya ini dalam upaya mencari perlindungan, keamanan, reunifikasi keluarga, dan mata pencaharian di negara lain,” kata Mantoo.

“Di antara mereka adalah korban perdagangan manusia, anak-anak tanpa pendamping dan terpisah, serta penyintas kekerasan berbasis seksual dan gender," tambah Mantoo.

Tindakan keras militer di Myanmar pada 2017 membuat ratusan ribu minoritas Muslim Rohingya melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh. Mereka menyimpan cerita mengerikan tentang pembunuhan, pemerkosaan, dan pembakaran oleh militer. Myanmar menghadapi tuduhan genosida di pengadilan tinggi PBB setelah eksodus massal tersebut.

Mantoo mengatakan, UNHCR telah menyerukan kepada otoritas maritim untuk menyelamatkan dan menurunkan orang-orang yang dalam kesulitan. Namun seruan ini telah diabaikan dan banyak kapal terapung-apung selama berpekan-pekan. “Krisis saat ini di Teluk Benggala dan Laut Andaman adalah krisis solidaritas,” ujar Mantoo.

UNHCR menyerukan tanggapan regional untuk menangani perdagangan manusia, upaya pencarian dan penyelamatan, serta dukungan di negara-negara tempat pengungsi Rohingya mendarat. UNHCR juga ingin melihat upaya untuk mengatasi akar penyebab mengapa Rohingya melarikan diri dari Myanmar.

"Tanpa tanggapan seperti itu, lebih banyak orang akan mati di laut lepas karena orang melakukan perjalanan berbahaya untuk mencari keselamatan," kata Mantoo.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement