REPUBLIKA.CO.ID, DAVOS -- Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen menyampaikan pilihan untuk Uni Eropa (UE) soal China. Intinya, rangkul atau putus sama sekali dari China di tengah persaingan sengit blok tersebut dengan kekuatan ekonomi kedua dunia.
Menurut von der Leyen, UE perlu bekerja dan berdagang dengan China dalam teknologi bersih dan mendorong kermitraan daripada putus hubungan dari China. Sejumlah alasan ia paparkan dalam pidatonya di World Economic Forum (WEF) di Davos, Swiss, Selasa (17/1/2023).
China, menurut dia, telah membuat terobosan terkait inovasi teknologi bersih dan membuat prioritas utama dalam rencana lima tahun mereka. China pun dominan dalam sejumlah sektor seperti kendaraan listrik dan panel surya.
Persaingan dalam teknologi bersih mesti dilakukan pada tingkatannya. Beijing, mendorong perusahaan energi untuk relokasi ke China dijanjikan harga murah, upah tenaga kerja lebih rendah, dan regulasi lunak. Mereka, menyubsidi serta membatasi akses bagi perusahaan UE.
‘’Kita masih perlu bekerja dan berdagang dengan China. Khususnya saat kita tiba pada fase transisi ini. Maka, kita perlu fokus pada upaya mengurangi risiko daripada putus dari China,’’ kata von der Leyen seperti dilansir The Straits Times.
Artinya, jelas dia, gunakan perangkat dagang dan pertahanan domestik yang dimiliki UE. Misalnya, regulasi subsidi asing yang saat ini berlaku. ‘’Kita tak akan ragu membuka investigasi jika memandang pengadaan kita atau pasar lainnya terdistorsi subsidi semacam itu,’’ ujarnya.
Von der Leyen menyatakan pula, UE mempersiapkan aturan yang membuat industri hijau berjalan mulus. Selain itu, mendukung industri ini dengan apa yang ia sebut ‘’state aid’’ serta European Sovereignty Fund agar perusahaan di sektor ini tak pindah ke AS dan China.
Langkah-langkah di atas bakal menjadi bagian dari rencana industri EU’s Green Deal, demi mewujudkan Eropa rumah bagi teknologi dan inovasi industri bersih. Sehingga rencana nol misi pada 2050 dapat tercapai. n