REPUBLIKA.CO.ID, DHAKA -- Sebuah unit polisi elite Bangladesh terlibat dalam pemerasan, pelecehan, dan salah tangkap terhadap pengungsi Rohingya yang tinggal di kamp-kamp di Cox's Bazar. Polisi elite tersebut semestinya bertugas untuk melindungi dan memberikan keamanan bagi para pengungsi.
Human Rights Watch (HRW) pada Selasa (17/1/2023) melaporkan, Batalyon Polisi Bersenjata (APBN) beroperasi di kamp-kamp yang menampung hampir satu juta orang Rohingya. Mereka tiba di Bangladesh setelah melarikan diri dari Myanmar akibat tindakan keras militer.
Para pengungsi dan pekerja kemanusiaan mengatakan kepada HRW bahwa, keamanan di kamp pengungsian telah memburuk setelah unit polisi elite itu mengambil alih keamanan kamp pada 2020. Beberapa orang Rohingya mengatakan, pelanggaran oleh petugas keamanan telah menjadi peristiwa yang biasa.
“Pelanggaran oleh polisi di kamp Cox’s Bazar telah membuat pengungsi Rohingya menderita di tangan pasukan yang seharusnya melindungi mereka,” kata peneliti HRW Asia Shayna Bauchner, dilaporkan The Straits Times, Selasa (17/1/2023).
Human Right Watch telah berbicara dengan puluhan pengungsi Rohingya yang tinggal di kamp yang luas dan penuh sesak itu. Kelompok hak asasi manusia tersebut juga mendokumentasikan setidaknya 16 kasus pelecehan serius oleh petugas APBN.
Laporan HRW menyebutkan, polisi menuntut suap besar dari pengungsi di bawah ancaman penangkapan. HRW menambahkan, keluarga sering dipaksa untuk menjual perhiasan emas atau meminjam uang untuk membebaskan kerabat yang ditahan secara tidak adil.
Bauchner meminta pihak berwenang untuk menyelidiki dugaan tersebut dan meminta pertanggungjawaban petugas. Komandan Batalyon APBn, Syed Harunor Rashid mempertanyakan laporan HRW tersebut.
“Penjahat memberi tahu mereka fakta palsu, dan (Human Rights Watch) melaporkannya. Ini seperti memberikan kenyamanan kepada para penjahat,” kata Rashid.
Rashid menambahkan, pihaknya akan melakukan penyelidikan jika menerima pengaduan khusus. Beberapa pengungsi Rohingya mengatakan bahwa pelanggaran polisi sudah merajalela.
“Beberapa hari yang lalu, saya kembali ke kamp dengan laporan medis saudara laki-laki saya dari rumah sakit. Petugas APBn menghentikan saya di pos pemeriksaan, menginterogasi dan menampar saya,” kata seorang pengungsi Rohingya, Ali Jaker (20 tahun).
Jaker mengatakan, petugas keamanan telah mencuri uangnya senilai 50 dolar AS. Tak hanya itu, petugas juga mengambil paksa ponsel Jaker,
“Kemudian mereka mengambil ponsel saya. Mereka mengancam akan melakukan tindakan terhadap saya jika saya berbagi cerita dengan siapa pun,” kata Jaker.
Pengungsi Rohingya lainnya, Sitara Bibi mengatakan, pemerasan oleh polisi di kamp adalah kejadian biasa. Bibi mengatakan, dia harus membayar 'uang keamanan' sebesar 3.000 taka atau setara 38,11 dolar AS untuk pernikahan putranya.
“Saya harus membayar 3.000 taka kepada mereka selama pernikahan putra saya. Jika kami tidak membayar, polisi akan mengajukan kasus penyelundupan narkoba terhadap anak saya,” ujar Bibi.
Seorang pemimpin sipil Rohingya, yang berbicara tanpa menyebut nama, mengatakan, para pengungsi dipaksa membayar polisi untuk melakukan perjalanan antar kamp atau masuk ke kamp pada larut malam. Jika ada yang memprotes atau menolak untuk membayar, maka pengungsi yang bersangkutan akan ditangkap.