REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur PT Diratama Jaya Mandiri (DJM) John Irfan Kenway menegaskan dirinya tak bisa ikut campur dalam urusan TNI AU. Ia membantah cawe-cawe dalam pengadaan helikopter angkut AW-101.
Hal tersebut disampaikan Irfan dalam sidang dengan agenda pemeriksaan terdakwa pada Rabu (18/1/2023) di Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta Pusat. Irfan berstatus terdakwa tunggal dalam kasus pengadaan heli angkut AW-101 untuk TNI AU.
Mulanya, Irfan ditanya mengenai metode pemilihan penyedia barang oleh tim kuasa hukumnya. Irfan memastikan tak ikut campur dalam penentuan tersebut. "Keputusan itu bukan di saya, saya tidak bisa atur TNI AU. Saya mintanya penunjukkan langsung," kata Irfan dalam persidangan tersebut.
Irfan tak memahami bagaimana mekanisme pengadaan heli AW-101 dapat berubah. Ia menduga hal tersebut dibahas sekaligus diputuskan dalam rapat internal TNI. "Saya kurang paham, ada rapat-rapat putuskan pemilihan khusus," ujar Irfan.
Irfan menegaskan pada saat itu dirinya keberatan dengan mekanisme pengadaan yang disepakati TNI AU. Atas dasar itulah, ia meminta TNI AU mencari pendamping lain guna membeli heli AW-101. "Saya sampaikan keberatannya. Silakan saja cari pendampingnya," ucap Irfan.
Selama ini, Irfan merasa hanya perusahaannya lah yang dilibatkan dalam pengadaan heli AW-101. Apalagi ia mengeklaim PT DJM sebagai representasi dari perusahaan kontraktor pertahanan asal Italia yang memproduksi heli AW-101, Leonardo, di Indonesia.
Sehingga ia merasa tak ada perusahaan lain yang memfasilitasi TNI AU membeli Heli AW-101. "Rapat 14 April hanya diundang Diratama Jaya Mandiri, kalau ada pendampingnya kenapa nggak diundang juga?" ucap Irfan.
Sebelumnya, kasus ini bermula dari TNI AU yang mendapat tambahan anggaran Rp 1,5 triliun dimana salah satu peruntukkannya bagi pengadaan helikopter VIP/VVIP Presiden senilai Rp 742 miliar pada 2015. Irfan sempat beberapa kali memaparkan produk AgustaWestland (AW) di hadapan petinggi TNI AU.
Sehingga Irfan diminta almarhum Mohammad Syafei selaku Asrena KSAU TNI membuat proposal harga dari helikopter angkut AW-101. Namun Irfan menyarankan pihak TNI AU membuat surat ke perusahaan AW. Belakangan, Head Of Region Southeast Asia Leonardo Helicopter Division Agusta Westland Products, Lorenzo Pariani dan Irfan memberikan proposal itu kepada Syafei.
Syafei menanyakan AW untuk bisa menghadirkan helikopter VIP/VVIP AW 101 untuk diterbangkan pada 9 April 2016 saat HUT TNI AU. Atas permintaan tersebut, Irfan menghubungi Lorenzo agar bisa menyanggupinya.
Pada 14 Oktober 2015, Irfan langsung memesan satu unit heli AW-101 setelah mengetahui TNI AU membutuhkannya untuk ditampilkan pada HUT ke-70 TNI AU. Padahal jenis heli yang dipesan merupakan sesuai konfigurasi VVIP pesanan Angkatan Udara India. Bahkan Irfan sudah membayar uang tanda jadi senilai Rp 13 miliar kepada AW.
Bukannya untung, Irfan nyaris saja buntung. Sebab Presiden mengarahkan agar kebutuhan heli AW-101 dihitung ulang. Akibatnya, anggaran terkait pengadaan helikopter VIP/VVIP RI-1 diblokir. Atas dasar itu dana pembelian helikopter Rp 742 miliar tak bisa dicairkan.
Namun mantan KSAU Agus Supriatna melalui Asisten Perencanaan dan Anggaran KSAU TNI (2015-Februari 2017), Supriyanto Basuki yang menggantikan Syafei mengirim surat kepada Kementerian Pertahanan (Kemhan). Isinya perubahan kegiatan pengadaan dari helikopter VVIP RI-1 menjadi helikopter angkut berat.
Hal ini disebut upaya agar Irfan tetap menjadi penyedia barang helikopter buatan AW. Selanjutnya, spesifikasi teknis helikopter AW-101 yang memang ditujukan untuk VVIP justru diubah spesifikasinya menjadi helikopter angkut yang akan diadakan oleh TNI AU.
Padahal spesifikasi teknis helikopter angkut AW-101 seri 500 dengan konfigurasi misi angkut berbeda dari spesifikasi teknis helikopter AW-101 seri 600 dengan konfigurasi VVIP. Irfan didakwa salah satunya memperkaya eks KSAU Agus Supriatna lewat dana komando sebesar Rp 17,7 miliar.
Sehingga Irfan didakwa melanggar pasal Pasal 2 ayat (1) subsider Pasal 3 Jo. Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.