REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Peraih hadiah Nobel dari Filipina, Maria Ressa dan media yang ia dirikan Rappler dibebaskan dari dakwaan penggelepan pajak. Organisasi media dan hak asasi manusia mengatakan, keputusan ini kemenangan bagi kebebasan pers dan supremasi hukum.
Ressa yang menerima hadiah Nobel perdamaian bersama jurnalis Rusia pada 2021 merupakan pemimpin Rappler. Media dengan reputasi laporan mendalam dan kritis pada mantan presiden Rodrigo Duterte dan operasi antinarkobanya.
"Pembebasan tidak hanya untuk Rappler ini untuk setiap warga Filipina yang dituduh dengan tidak adil," kata Ressa usai keputusan dibacakan, Rabu (18/1/2023).
"Dakwaan-dakwaan ini bermotif politis, penyalahgunaan kekuasaan yang tak tahu malu," katanya.
Badan penerimaan negara Filipina menuduh Rappler menggelapkan pajak pengembalian hasil penjualan saham ke investor asing. Kasus ini menjadi dasar regulator sekuritas mencabut izinnya.
Pengadilan pajak mengatakan, keputusan membebaskan Ressa dan Rappler diambil karena jaksa penuntut tidak dapat membuktikan pelanggaran tanpa keraguan. Departemen Kehakiman Filipina mengatakan menghormati keputusan pengadilan.
Ressa yang saat ini bebas dengan jaminan mengajukan banding hukuman enam tahun penjara yang dijatuhkan pada 2020 atas pencemaran nama baik. Ia sudah melawan gugutan pemerintah sejak 2018 yang ia sebut sebagai serangkaian pola serangan.
Kesulitan yang Ressa hadapi menimbulkan kekhawatiran internasional mengenai serangan terhadap media di Filipina yang digambarkan salah satu negara paling berbahaya bagi jurnalis di Asia.
Organisasi hak asasi manusia dan pengawas media memuji keputusan pengadilan. Mereka mengatakan keputusan ini kemenangan bagi jurnalis dan supremasi hukum.
"Ini kemenangan bagi kebebasan pers di Filipina," kata peneliti senior Human Rights Watch, Carlos Conde dalam pernyataannya.
Conde mengatakan tantangan bagi pemerintah Presiden Ferdinan Marcos Jr adalah mencatat hal ini dan "memastikan jurnalis melakukan pekerjaannya tanpa rasa takut."
Pada bulan Oktober lalu seorang jurnalis radio ditembak hingga tewas. Salah satu pembunuhan pada wartawan dalam satu dekade terakhir.
Filipina berada diurutan 147 dari 180 negara di indeks kebebasan pers dunia tahun 2022. Pada tahun 2021 Komite Perlindungan untuk Jurnalis menempatkan negara itu diperingkat ketujuh indeks impunitas yang melacak negara yang membebaskan pembunuh wartawan.