Kamis 19 Jan 2023 18:20 WIB

Harap Waspada, IDAI: Kasus Suspek Campak Melonjak 32 Kali Lipat

Melonjaknya penyakit campak lantaran cakupan vaksinasi campak cenderung terus menurun

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Mansyur Faqih
Tenaga kesehatan mengambil vaksin Difteri Tetanus (DT) saat Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) Tahap Dua di SD Masjid Syuhada, Yogyakarta, Jumat (16/12/2022). Tenaga Kesehatan dari Puskesmas Gondomanan II menyuntikkan vaksin DT untuk siswa kelas 1, sedangkan untuk kelas 2 dan 5 diberikan vaksin Tetanus Difteri (Td) penguat. Program BIAS ini untuk membangun kekebalan tubuh dan membebaskan siswa sekolah dari penyakit campak, difteri, dan tetanus.
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Tenaga kesehatan mengambil vaksin Difteri Tetanus (DT) saat Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) Tahap Dua di SD Masjid Syuhada, Yogyakarta, Jumat (16/12/2022). Tenaga Kesehatan dari Puskesmas Gondomanan II menyuntikkan vaksin DT untuk siswa kelas 1, sedangkan untuk kelas 2 dan 5 diberikan vaksin Tetanus Difteri (Td) penguat. Program BIAS ini untuk membangun kekebalan tubuh dan membebaskan siswa sekolah dari penyakit campak, difteri, dan tetanus.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua UKK Infeksi dan Penyakit Tropis Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Dr dr Anggraini Alam, SpA (K) mengungkapkan telah terjadi pelonjakan kasus campak hingga 32 kali lipat. Pernyataan ini menanggapi kasus campak yang kembali meningkat di Tanah Air dan telah ditetapkan sebagai kejadian luar biasa (KLB) di beberapa wilayah.

Anggraini menilai melonjaknya penyakit campak lantaran cakupan vaksinasi campak cenderung terus menurun. Masyarakat dinilai sudah tidak terlalu khawatir bahkan menganggap infeksi campak sudah hilang. Mirisnya, sejak 2015 cakupan vaksinasi terus menurun hingga 2021 menyusut drastis, salah satunya efek pandemi Covid-19.

"Semakin banyak yang tidak divaksinasi, semakin rentan risiko terinfeksi. Kekebalan pada infeksi juga bisa 'lupa' karena tidak melanjutkan vaksinasi, atau dinamakan immunological amnesia. Bahkan pada 2021 ada 132 kasus suspek, di 2022 ada 3.341 kasus," sebut dr Anggraini dalam konferensi pers secara daring, Kamis (19/1/2023).

"Artinya memang bukan main," lanjutnya.

Ia pun meminta masyarakat mewaspadai gejala dan pemicu penularannya. Ia mengatakan, bila terinfeksi campak, virus akan masuk ke tubuh kemudian ke darah. Gejala campak tidak cukup di kulit saja, karena bisa juga muncul di mata, hingga saluran pencernaan.

"Yang paling buruk ke sistem imun, memang kalau dilihat kulitnya muncul ruam setelah demam, dia punya tiga fase gejalanya," jelasnya dia.

Ia pun menjelaskan, fase tersebut dimulai dari ruam, mata memerah, kemudian mengalami batuk yang khas. Perlu diketahui, ketika seseorang terkena campak, 90 persen orang yang berinteraksi erat dengan penderita dapat tertular jika mereka belum memiliki kekebalan terhadap campak. Kekebalan terbentuk jika telah diimunisasi atau pernah terinfeksi virus campak sebelumnya.

Komplikasi dari campak yang dapat menyebabkan kematian adalah pneumonia (radang paru) dan ensefalitis (radang otak). Sekitar 1 dari 20 penderita campak akan mengalami komplikasi radang paru dan 1 dari 1.000 penderita akan mengalami komplikasi radang otak.

photo
Penyakit campak - (Republika)

Selain itu, komplikasi lain adalah infeksi telinga yang berujung tuli (1 dari 10 penderita), diare (1 dari 10 penderita) yang menyebabkan penderita butuh perawatan di RS.

Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi mengatakan, sampai Desember 2022 sudah ada 3341 kasus yang dilaporkan di 223 kabupaten dan kota dari 31 provinsi.

"Jadi, sudah 31 provinsi yang melaporkan. Saya meminta semua untuk waspada dengan penyakit Campak ini," ujar Nadia saat dikonfirmasi, Kamis (19/1/2023).

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement