Kamis 19 Jan 2023 20:08 WIB

Faktor-Faktor Pemicu Pernikahan Anak dan Pengajuan Dispensasi Nikah Menurut Sosiolog

Pemicu pengajuan dispensasi menikah tak hanya dari lemahnya pengawasan orang tua

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Nashih Nashrullah
Buku nikah. Pemicu pengajuan dispensasi menikah tak hanya dari lemahnya pengawasan orang tua
Foto: Wihdan Hidayat / Republika
Buku nikah. Pemicu pengajuan dispensasi menikah tak hanya dari lemahnya pengawasan orang tua

REPUBLIKA.CO.ID,  SURABAYA – Ada kontradiksi yang memprihatinkan terkait masih banyaknya anak di bawah umur yang mengajukan dispensasi nikah. Pemerintah sudah menyiapkan payung hukum untuk membatasi usia seseorang bisa menikah, tetapi tidak berdampak untuk mengurangi jumlah pernikahan anak di bawah umur.

"Sebaliknya, yang terjadi malah kasus pernikahan di bawah umur makin banyak. Yang memprihatinkan itu sebagian di antaranya dilakukan karena hamil di luar nikah. Ini merupakan imbas perilaku permisif yang dilakukan anak," kata sosiolog Universitas Airlangga (Unair), Prof Bagong Suyanto, di Surabaya, Kamis (19/1/2023). 

Baca Juga

Bagong mengungkapkan berbagai faktor penyebab tingginya angka pernikahan di bawah umur karena hamil duluan. Menurut dia, tidak hanya akibat kurangnya pengawasan orang tua, tetapi juga cyber-porn (siber-porno). Kemudian pengaruh lingkungan pergaulan juga berkontribusi pada kasus pernikahan anak di bawah umur.

Faktor yang juga menjadi pemicu menurutnya adalah faktor budaya. Pada sebagian kalangan masyarakat, menikahkan anak dapat dilakukan secepat mungkin sebelum mereka terjerumus melakukan hal-hal yang negatif.

"Masih ada sebagian masyarakat yang menganggap pernikahan siri tidak masalah meskipun secara hukum tidak dianjurkan, praktik ini masih terjadi," ujarnya.

Bagong mengingatkan, godaan cyber-porn tidak bisa diatasi dengan hanya memblokir konten pornografi. Menurut dia, sang anak juga perlu dibekali daya tahan berupa literasi kritis. 

Selain kontrol dan pengawasan yang dilakukan orang tua, pembinaan hendaknya dilakukan agar anak memiliki kesadaran serta sikap kritis untuk menyikapi cyber-porn.

"Tidak mungkin remaja diawasi orang tua dua puluh empat jam, ada masa di mana dia punya kebebasan sendiri," kata Bagong.

Bagong melanjutkan, karakteristik anak masa kini yang berbeda dengan generasi sebelumnya menjadikan orang tua harus melakukan pendekatan yang berbeda. Jika dulu, menurut dia, jam sembilan malam anak di rumah hati orang tua bisa tenang.

"Sekarang anak jam sembilan malam belum keluar kamar harus curiga apa yang dilakukan," kata Bagong.

Bagong menambahkan, dibutuhkan pemahaman orang tua untuk senantiasa mendampingi dan membimbing anak. 

Membangun ketahanan anak bisa dilakukan melalui jalur agama serta membangun keluarga yang harmonis.

"Keluarga harmonis ini bertujuan agar energi anak tidak digunakan ke hal negatif, tapi ke hal yang tidak kalah menarik, tapi positif," kata dia.

Pendidikan seks bagi anak tak luput dari perhatian Bagong. Menurut dia, orang tua cenderung enggan dan tertutup jika anak membicarakan seksualitas. 

Padahal, anak ketika orang tua tidak mau memberi penjelasan mereka akan mencari sendiri. "Ini bisa menyebabkan anak memahami seksualitas dengan cara yang salah," ujarnya.    

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement