REPUBLIKA.CO.ID, oleh Bambang Noroyono
Kejaksaan Agung (Kejagung) menilai status justice collaborator (JC) untuk terdakwa Richard Eliezer (RE) dalam kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat (J) tak dapat diterima. Status JC terhadap eksekutor, dan pelaku pembunuhan berencana di Duren Tiga 46 Jakarta Selatan (Jaksel) tersebut, baru sebatas rekomendasi ajudan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Fadil Zumhana, mengatakan, rekomendasi JC dari LPSK tersebut belum mendapatkan persetujuan dari majelis hakim yang mengadili kasus tersebut.
“LPSK itu cuma merekomendasikan saja. Penetapannya sebagai JC itu ada di hakim. Dan sampai hari ini, hakim tidak ada menetapkan (status terdakwa Richard sebagai JC),” kata Fadil di Gedung Pidum, Kejagung, Jakarta, Kamis (19/1/2023).
Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejakgung, Ketut Sumedana menerangkan, rekomendasi LPSK untuk menjadikan terdakwa Richard sebagai JC, pun cacat kriteria. Ketut mengacu pada dua sumber hukum, Undang-undang (UU) 31/2014 tentang LPSK, dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) 4/2011 tentang whistleblower, dan JC.
Ketut menjelaskan, Pasal 28 ayat (2) huruf a UU LPSK tak memasukkan tindak pidana pembunuhan berencana sebagai perkara yang membuka peluang pemberian JC terhadap pelakunya. “Bahwa kasus pembunuhan berencana bukanlah termasuk yang diatur dalam pemberian status justice collaborator,” terang Ketut.
JC, kata Ketut menjelaskan, menurut UU LPSK tersebut hanya diberikan kepada pelaku kejahatan, yang melakukan tindak pidana tertentu dan khusus. Terkait tindak pidana tertentu, dan khusus itu, kata Ketut, mengacu pada SEMA 4/2011.
Dalam SEMA, kata Ketut menjelaskan hanya ada enam jenis tindak pidana tertentu, dan khusus yang membuka peluang pemberian status JC. Antara lain, adalah tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang (TPPU), tindak pidana perdagangan orang (TPPO), dan tindak pidana lainnya yang masuk kategori kejahatan ekonomi, atau tindak pidana yang bersifat terorganisir.
Dengan dua dasar legal tersebut, dikatakan Ketut, status JC terdakwa Richard dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir J, tak sesuai peruntukan. Ketut menambahkan, jikapun rekomendasi JC ajudan LPSK untuk terdakwa Richard tersebut dikabulkan oleh majelis hakim dalam putusannya, pun itu tak dapat dibenarkan.
Sebab dikatakan dia, dasar hukum SEMA 4/2011 tetap punya syarat dalam mengabulkan pemberian status JC. Syarat utama dalam pemberian status JC tersebut, memastikan penerima status JC bukanlah pelaku utama tindak kejahatan. Sementara Richard, kata Ketut, dalam kasus pembunuhan berencana di Duren Tiga 46 adalah salah satu terdakwa utama yang menjadi pelaku, atau eksekutor pembunuhan terhadap Brigadir J.
“Jadi selain pembunuhan berencana tidak masuk dalam tindak pidana khusus yang menjadi kriteria dalam pemberian justice collaborator, juga, status justice collaborator itu, tidak dapat diberikan kepada pelaku utama tindak kejahatan,” terang Ketut.
Meskipun begitu, Ketut menjelaskan, rekomendasi LPSK untuk menjadikan terdakwa Richard sebagai JC, patut dihormati. Sebab dikatakan Ketut, LPSK sebagai lembaga negara, sudah menjalankan perannya untuk dapat melindungi pelaku kejahatan, yang bersedia kooperatif selama proses hukum.