Kamis 19 Jan 2023 23:23 WIB

Pengungsi Rohingya di Aceh Diduga Terkena Sindikat TPPO

Kemenlu sebut pengungsi yang terkena sindikat TPPO umumnya jadikan RI negara transit

Rep: Fergi Nadira/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Seorang pengungsi Rohingya beristirahat di rumah penampungan sementara setelah mendarat di pesisir Ladong, Aceh, Selasa (10/1/2022).Direktur Hak Asasi Manusia (HAM) dan Kemanusiaan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI Achsanul Habib menduga terdapat pola yang sama dalam gelombang pengungsi Myanmar yang tiba di Aceh. Habib mengatakan, para pengungsi merupakan secondary movement dan terlibat dengan jaringan sindikat Tindakan Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Foto: Reuters/Willy Kurniawan
Seorang pengungsi Rohingya beristirahat di rumah penampungan sementara setelah mendarat di pesisir Ladong, Aceh, Selasa (10/1/2022).Direktur Hak Asasi Manusia (HAM) dan Kemanusiaan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI Achsanul Habib menduga terdapat pola yang sama dalam gelombang pengungsi Myanmar yang tiba di Aceh. Habib mengatakan, para pengungsi merupakan secondary movement dan terlibat dengan jaringan sindikat Tindakan Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Direktur Hak Asasi Manusia (HAM) dan Kemanusiaan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI Achsanul Habib menduga terdapat pola yang sama dalam gelombang pengungsi Myanmar yang tiba di Aceh. Habib mengatakan, para pengungsi merupakan secondary movement dan terlibat dengan jaringan sindikat Tindakan Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

Secondary movement adalah perpindahan migran termasuk pengungsi dan pencari suaka yang karena berbagai alasan pindah dari negara tempat mereka pertama kali datang untuk mencari perlindungan dari negara asal. Dalam hal ini pengungsi Rohingya di Aceh kebanyakan datang dari kamp pengungsian Cox's Bazar di Bangladesh.

"Mereka ini diatur oleh pihak-pihak tertentu yang mencari tujuan ke negara tertentu dan Indonesia adalah negara transit bukan tujuan utamanya," ujar Habib dalam pengarahan media, Kamis (19/1/2023).

Motif utama mereka melarikan diri dari kamp pengungsian, menurut Habib bukan karena adanya persekusi, melainkan motif ingin mencari pekerjaan untuk penghidupan yang lebih layak dan menghindari krisis ekonomi. Hal ini pun juga yang memicu niat jahat dari pihak yang tidak bertanggung jawab.

Naasnya, para pengungsi dibohongi oleh para sindikat broker ilegal soal fasilitas yang lebih baik dan menjanjikan di negara lain. Sindikat ini yang kemudian diduga berperan besar atas gelombang pengungsian di Rohingya.

"Jadi dalam hal ini kita kini fokus pada bagaimana meningkatkan kapasitas negara-negara di kawasan untuk mencegah adanya penggunaan jaringan untuk menjerat para pengungsi tersebut ke dalam sindikat mereka yang juga bermotif uang dan bayaran tertentu," kata Habib.

Ia mengatakan, kaitan dengan TPPO ini, Kemenlu tengah mencoba mencari bagaimana meningkatkan kapasitas ini melalui mekanisme Bali Process dan akan dibahas bersama dengan negara anggota Bali Process lainnya.

Sementara itu, Habib menduga bahwa pengungsi Rohingya yang terdampar di Aceh dipandu melalui koordinat GPS. "Kita melihat mereka memiliki koneksi atau jaringan di Aceh dan mereka dipandu dengan koordinat tersebut," katanya.

Menurutnya, titik koordinat GPS pengungsi tersebut juga dimiliki lembaga internasional, LSM nasional dan internasional serta pemerintah negara asing melalui kedutaannya. "Jadi koordinat mereka tercatat dan disebarkan termasuk pergerakan dan perpindahan di tengah laut," jelasnya.

Ia juga menjelaskan bahwa para pengungsi masuk ke Indonesia menggunakan kesempatan hari-hari tertentu, seperti mengikuti musim, dini hari, dan hari libur. Dalam tiga bulan belakangan, tercatat 644 pengungsi Rohingya tiba di Aceh dalam tiga gelombang.

Fenomena ini dikhawatirkan akan berulang jika berbagai pihak termasuk Myanmar sendiri tidak memperhatikannya. Bangladesh, sebagai negara yang menampung paling banyak pengungsi Rohingya juga meminta dunia mendesak Myanmar untuk repatriasi para pengungsi pulang ke negara asal mereka.

Indonesia sebagai ketua ASEAN tahun ini menegaskan akan berupaya semaksimal mungkin membantu penyelesaian krisis politik di Myanmar. Sebab, untuk dapat menyelesaikan isu Rohingya diperlukan dulu penyelesaian dalam negeri tersebut.

Menteri Luar Negeri (Menlu) RI Retno Marsudi mengatakan pekan lalu, bahwa penyelesaian masalah Rohingya tidak mengalami kemajuan dan menjadi sulit dengan situasi di Myanmar sendiri saat ini. Dan masalah ini, kata dia, tidak akan dapat selesai jika akar masalah di Myanmar tidak selesai. "Isu Rohingya tidak akan dapat diselesaikan jika akar masalah di Myanmar tidak diselesaikan," ujarnya.

Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik sekaligus Juru Bicara Kemenlu RI, Teuku Faizasyah mengatakan, laporan UNHCR tentang pengungsi Rohingya yang mencoba mengarungi laut menjadi keprihatinan bersama. Menurutnya, perlu dipastikan proses relokasi mereka di tempat di mana mereka sekarang berada.

"Sehingga nantinya tidak ada dorongan untuk melekukan upaya menuju tempat transit sebelum menuju tempat tujuan," ujarnya dalam pengarahan media di Kemenlu Jakarta, Kamis.

Di situlah, menurutnya peran Komisaris Tinggi PBB Soal Pengungsi (UNHCR) dalam memastikan adanya negara ketiga yang bersedia menerima para pengungsi Rohingya tersebut. Kecenderungan saat ini adalah berkurangnya kesediaan negara-negara pihak di Konvensi PBB 1945 tentang penanganan pengungsi, untuk menerima para pengungsi.

"Kita sekali lagi mengingatkan UNHCR untuk meningkatkan perannya memproses penempatan para pengungsi yang telah diratifikasi," kata dia.

Kemenlu RI mendata bahwa kebanyakan pengungsi Rohingya di Aceh sudah terdaftar sebagai pengungsi. Oleh karenanya, sepatutnya mereka tetap tinggal di tempat sebelumnya dan tidak mengambil risiko perjalanan laut berbahaya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement