REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Bupati Sumenep Achmad Fauzi mendorong dilakukannya revisi Permen ESDM nomor 1 tahun 2022 tentang perubahan atas Permen ESDM nmor 7 tahun 2019 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Data Minyak dan Gas Bumi. Dimana di dalamnya, aturan tersebut juga memuat Dana Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi (DBH Migas) antara pemerintah pusat dan daerah.
Fauzi menilai, aturan tersebut sama sekali tidak berpihak kepada daerah yang merupakan penghasil Migas, seperti di derah-daerah di Pulau Madura. "Jadi itu (Permen nomor 1 tahun 2022) menurut kami masih belum berpihak kepada daerah penghasil," ujarnya di Surabaya, Jumat (20/1).
Fauzi menjabarkan, berdasarkan aturan tersebut,ketika eksplorasinya berjarak 4 sampai 12 mil, DBH Migas yang dibagikan ke pemerintah daerah sebesar 30 persen. Rinciannya, 10 persen untuk Pemerintah Provinsi Jatim, 1 persen untuk daerah pengelola, dan 19 persen sisanya dibagi ke 37 kabupaten/ kota di Jatim, yang artinya setiap daerah hanya mendapat 0,5 persen.
Termasuk Sumenep yang merupakan salah satu derah penghasil migas, DBH Migas yang diperoleh hanya 0,5 persen. Menurut Fauzi, berdasarkan aturan tersebut, daerah pengelola atau yang menjadi ujung dari pipa Migas, jauh lebih diuntungkan dibanding daerah penghasil Migas. Padahal jika dilihat dari potensi, daerah pengelola tidak memiliki Migas.
"Menurut saya skema proporsi dari aturan ini masih kurang berpihak. Daerah pengelola, dimana ujung dari pipa berada, lebih diuntungkan. Dari DBH dapat, dan dari bisnisnya juga dapat," ujarnya.
Fauzi mengaku telah berkali-kali menyampaikan keluhan tersebut kepada SKK Migas Perwakilan Jabalnusa. Fauzi menilai, idealnya, jumlah DBH Migas yang diperoleh Kabupaten Sumenep sebagai daerah penghasil Migas berada di angka 6 persen. Apalagi dalam aturan yang sama, DBH Migas yang dibagikan pemerintah ke daerah penghasil, pada eksplorasi di bawah 4 mil mencapai 13 persen.
"Paling tidak daerah penghasil kan dapat 6 persen kan itu masih lumayan. Tapi semuanya saya serahkan kepada pemerintah pusat. Tapi kan pemerintah daerah sama keinginannya. Kita boleh dong menyampaikan aspirasi ini ke pemerintah pusat," kata Fauzi.
Fauzi mengatakan, jika porsi pembagian DBH Migas bisa lebih adil, akan sangat berdampak terhadap kesejahteraan masyarakat, yang ujungnya bisa mengurangi kemiskinan di wilayah Madura. Apalagi berdasarkan catatan yang ada, daerah-daerah di Pulau Madura masuk dalam 10 besar kategori daerah dengan tingkat kemiskinan ekstrem yang tinggi.
Fauzi menjelaskan, total DBH Migas yang dibagikan ke pulau Madura untuk 2023 hanya Rp 123 miliar. Besaran itu jika dihitung dengan seluruh jumlah penduduk di Madura, maka setiap warganya hanya mendapatkan Rp 31 ribu saja. Jumlah itu dirasakan tidak seimbang, karena wilayah Madura merupakan daerah penghasil Migas terbesar di Jatim.
"Kalau dibreakdown lagi di Sumenep hanya Rp 28 ribu. Maksud saya kalau dihitung jumlah penduduk dan DBH Migas segitu untuk daerah penghasil maka ini tidak seimbang," kata Fauzi.
Dia berharap agar pemerintah pusat mengkaji ulang aturan itu, agar wilayah penghasil Migas bisa memperoleh DBH lebih besar untuk mengurangi angka kemiskinan. "Paling tidak suatu saat akan menjadi pemikiran pemerintah pusat untuk pertimbangan itu," ujarnya.