Sabtu 21 Jan 2023 04:10 WIB

Mandiri Proyeksikan BI akan Tahan Suku Bunga Sampai Akhir Tahun

BI diperkirakan akan menahan suku bunga acuan di level 5,75 persen.

Red: Ahmad Fikri Noor
Layar memampilkan logo Bank Indonesia (BI) di Jakarta, Kamis (17/6/2021). Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman memproyeksikan, Bank Indonesia (BI) akan menahan suku bunga acuan di level 5,75 persen sepanjang sisa 2023.
Foto: ANTARA/Hafidz Mubarak A
Layar memampilkan logo Bank Indonesia (BI) di Jakarta, Kamis (17/6/2021). Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman memproyeksikan, Bank Indonesia (BI) akan menahan suku bunga acuan di level 5,75 persen sepanjang sisa 2023.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman memproyeksikan, Bank Indonesia (BI) akan menahan suku bunga acuan di level 5,75 persen sepanjang sisa 2023. Namun, ujarnya, BI akan tetap mewaspadai perkembangan ekonomi global ke depan yang masih penuh ketidakpastian.

"Kami mengharapkan BI untuk menahan suku bunga acuan ke depan dengan tetap mewaspadai perkembangan kondisi ekonomi baik global maupun domestik," ujar Faisal dalam keterangan resmi yang diterima di Jakarta, Jumat (20/1/2023).

Baca Juga

Sebagian besar bank sentral utama telah mengumumkan kenaikan suku bunga pada 2023 tidak akan seagresif pada 2022 di tengah meredanya inflasi global. Ia melihat kenaikan suku bunga global akan mencapai puncaknya pada akhir semester I 2023.

Bank Sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve (Fed) pada pertemuan Desember 2022 memproyeksikan suku bunga acuan meningkat sebesar 75 basis poin (bps) tahun ini. Sementara pasar hanya mengharapkan peningkatan 25 bps dibanding peningkatan 425 bps pada 2022.

The Fed lebih lanjut telah memberikan sinyal untuk penurunan suku bunga mulai 2024. Sikap yang kurang hawkish ini telah mendorong aliran modal masuk ke pasar negara berkembang, termasuk Indonesia, khususnya pasar obligasi. Meskipun aliran keluar terus-menerus terjadi di pasar saham pada Januari 2023 dibanding level akhir tahun sebelumnya (year-to-date/ytd) karena penurunan harga komoditas dan meningkatnya kekhawatiran akan perlambatan ekonomi global, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berada dalam tren apresiasi yaitu menguat sekitar 3 persen (ytd).

Selain itu, sektor eksternal Indonesia tetap tangguh didorong oleh neraca perdagangan 2022 yang mencatat surplus tertinggi sepanjang sejarah yakni 54,46 miliar dolar AS. Dengan demikian, ia memperkirakan neraca transaksi berjalan 2022 akan mengalami surplus sekitar 1,05 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Meski demikian pertumbuhan ekspor diproyeksikan menurun pada 2023 karena penurunan harga komoditas, yang didorong lesunya permintaan global di tengah pengetatan moneter global yang sedang berlangsung untuk melawan inflasi.

Sementara itu, pertumbuhan impor diperkirakan lebih tinggi dari pertumbuhan ekspor karena kemungkinan terdapat penguatan permintaan domestik, menyusul pencabutan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), strategi hilirisasi industri, dan keputusan untuk melanjutkan Proyek Strategis Nasional (PSN).

"Kami memperkirakan neraca transaksi berjalan pada tahun 2023 akan berubah menjadi defisit yang dapat dikelola sekitar 1,1 persen dari PDB," tambahnya.

Di sisi lain, Faisal masih memperkirakan inflasi domestik akan tetap berada di atas batas atas kisaran target 2 persen sampai 4 persen setidaknya hingga semester pertama tahun 2023. Dengan begitu inflasi diperkirakan terus mereda pada paruh kedua menuju 3,6 persen pada akhir 2023.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement