REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemilihan umum (pemilu) menjadi bagian dari sistem demokrasi yang pelaksanaannya bisa menyesuaikan kebutuhan berdasar konteks waktu dan tempat. Demokrasi tidak mempunyai bentuk baku yang dapat diterapkan sebagai model yang sama di setiap negara.
"Jadi kalau ditanya, sistem apa yang terbaik, tentu yang bisa mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa," ujar pemerhati isu-isu strategis Duta Besar Prof Imron Cotan dalam webinar nasional Moya Institute bertema 'Pemilu Proporsional Tertutup: Kontroversi' di Jakarta, Jumat (20/1/2023).
Karena itu, kata Imron, apapun sistem pemilu yang dipakai tidak menjadi soal, asalkan berkelanjutan dan dapat meningkatkan kualitas demokrasi. Pasalnya, saat ini demokrasi di Indonesia masih dalam proses pematangan.
Belakangan perdebatan mengenai sistem pemilu kembali mencuat, terkait apakah akan menggunakan sistem proporsional tertutup atau terbuka. PDIP mengusulkan sistem pemilu dengan sistem proporsional tertutup dengan alasan ongkos politik yang lebih murah, mencegah liberalisasi, serta potensi politik uang yang lebih kecil. Namun pendapat PDIP ditentang delapan partai politik di parlemen.
Guru Besar Universitas Bhayangkara Jaya dan peneliti senior BRIN Prof Hermawan Sulistyo menyebutkan, prinsip dasar dari pemilu yakni setiap orang sejak lahir mempunyai kedaulatan terhadap dirinya sendiri. Agar tidak terjadi konflik maka dibuat aturan. "Nah yang membuat pengaturan tersebut adalah orang yang kita pilih di eksekutif maupun legislatif," ujar Hermawan.
Direktur Eksekutif Moya Institute Hery Sucipto memaparkan, sistem proporsional tertutup maupun terbuka pernah dipraktikkan sejak awal reformasi sampai sekarang dalam kehidupan politik bernegara Indonesia. Kendati demikian, Hery berpendapat, tidak ada sistem yang satu tidak lebih sempurna dibandingkan dengan yang lainnya.
Wakil Ketua Umum DPP Partai Gelora, Fahri Hamzah mengingatkan masyarakat untuk mempertanyakan argumentasi sistem pemilu proporsional tertutup lebih bisa menyerap aspirasi masyarakat ketimbang terbuka. "(Argumentasi) itu bisa menyesatkan. Kalau membiarkan parpol mendudukkan anggotanya dari daerah tertentu, namun masyarakat merasa tidak memilih, maka kepercayaan konstituen akan pudar," ujarnya.