Angka Kemiskinan DIY Tinggi, BI: Masyarakatnya Hidup Sederhana
Red: Fernan Rahadi
Ilustrasi kriteria kemiskinan | Foto: republika/mardiah
REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Daerah Istimewa Yogyakarta Budiharto Setyawan mengatakan angka kemiskinan DIY tertinggi di Indonesia karena pola konsumsi masyarakatnya cenderung sederhana.
"Pola konsumsi masyarakat DIY cenderung unik, yang relatif berbeda dibandingkan daerah lain. Mayoritas masyarakat DIY memiliki budaya yang kuat dalam menabung dibandingkan dengan konsumsi," kata Budiharto melalui keterangan tertulis di Yogyakarta, Jumat (21/1/2023).
Jika dilihat dari struktur lapangan pekerjaan, menurut dia, mayoritas pekerjaan masyarakat DIY adalah UMKM dan didominasi tenaga kerja sektor informal yang mencapai 53,38 persen.
Meski mayoritas masyarakat telah memiliki pekerjaan, kata dia, secara statistik kemiskinan DIY dianggap masih tinggi yang mencapai 11,49 persen atau menduduki peringkat ke-12 provinsi dengan kemiskinan tertinggi di Indonesia.
Selain disebabkan pola konsumsi masyarakat DIY yang cenderung sederhana, menurut dia, metode pengukuran statistik belum sepenuhnya dapat menggambarkan keseimbangan kemampuan berbelanja masyarakat DIY yang sebenarnya. Budiharto menyebut tingkat simpanan masyarakat DIY di bank selalu lebih tinggi dibandingkan tingkat kredit.
Secara rata-rata, menurut dia, rasio kredit dibandingkan dengan simpanan rumah tangga di DIY dalam 10 tahun terakhir berkisar 66,78 persen yang berarti masih rendah apabila dibandingkan dengan rasio ideal 80-90 persen.
Kondisi tersebut, kata dia, terus menjadi problem secara statistik karena penduduk dikategorikan miskin apabila rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. "Dengan demikian, semakin rendah pengeluaran penduduk maka akan semakin dekat dengan kemiskinan," kata dia.
Sementara itu, kesenjangan pendapatan yang dilihat dengan pengeluaran penduduk lokal dengan penduduk pendatang sangat tinggi yang didominasi pola konsumsi produk tersier.
Mayoritas penduduk pendatang, kata dia, melakukan pengeluaran yang signifikan lebih besar, terutama untuk produk makanan jadi, sewa rumah, maupun produk gaya hidup, seperti perawatan kecantikan dan kesehatan.
"Kesenjangan pengeluaran ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan ketimpangan di DIY menjadi tinggi. Hal tersebut tercermin dari tingkat gini ratio DIY yang mencapai 0,459, tertinggi se-Indonesia," kata dia.
Karena itu, Bank Indonesia berupaya menciptakan lapangan kerja baru dan mendukung kesuksesan DIY dalam menjaga keberlangsungan proyek strategis nasional maupun proyek strategis daerah. "Proyek strategis yang berlanjut sampai dengan 2025 perlu terus dikawal agar dapat menyerap tenaga kerja dari masyarakat sekitar atau lokal," ujar Budiharto Setyawan.