Yogyakarta Fokus Usulan Tambahan Bangunan Cagar Budaya dari Kotagede
Red: Fernan Rahadi
Bagian depan Masjid Gedhe Mataram Kotagede, Yogyakarta, Jumat (3/12). Masjid Gedhe Mataram Kotagede merupakan masjid tertua di Yogyakarta. Masjid ini dibangun pada Tahun 1587 pada era Mataram Islam oleh Panembahan Senopati. Arsitektur masjid ini merupakan campuran antara Islam dengan Hindu. Kini Masjid Gedhe Mataram Kotagede menjadi salah satu tujuan wisata religi yang ramai pengunjung. | Foto: Wihdan Hidayat / Republika
REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta memfokuskan usulan penambahan bangunan yang berpotensi menjadi bangunan cagar budaya baru tahun ini dari kawasan Kotagede. Bangunan ini akan menjadi salah satu dari empat kawasan cagar budaya di kota tersebut.
"Konsentrasi utamanya memang di Kotagede, tetapi tidak menutup kemungkinan untuk mengusulkan bangunan yang berpotensi menjadi bangunan cagar budaya (BCB) dari seluruh wilayah di Kota Yogyakarta, tidak harus dari kawasan cagar budaya," kata Kepala Bidang Warisan Budaya Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta Susilo Munandar di Yogyakarta, Sabtu (21/1/2023).
Sejumlah bangunan di Kotagede yang berpotensi memenuhi syarat untuk menjadi bangunan cagar budaya atau bangunan warisan budaya, di antaranya Babon Anim di depan Pasar Kotagede, Bokong Semar, Benteng Cepuri, hingga Pacak Suji.
Menurut dia, bangunan-bangunan di Kotagede tersebut mampu memenuhi kriteria sebagai bangunan cagar budaya, seperti berusia minimal 50 tahun, mewakili gaya bangunan yang sama selama 50 tahun terakhir, dan memiliki nilai penting untuk sejarah, pendidikan, agama, atau masyarakat. "Misalnya, Pacak Suji yang memiliki nilai penting sebagai monumen penobatan Sri Sultan HB IX," katanya.
Setiap tahun, lanjut dia, Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta menargetkan mampu mengusulkan 20 bangunan yang berpotensi dapat ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya baru.
"Jumlah tersebut sesuai dengan target yang ditetapkan oleh Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) DIY. Untuk di Kota Yogyakarta, potensi bangunan cagar budaya cukup banyak," katanya.
Selama melakukan kajian, kata Susilo, akan berkomunikasi dengan pemilik bangunan, sehingga pemilik mengetahui dan mendapat informasi yang jelas mengenai proses kajian yang dilakukan sebagai salah satu upaya menghindari konflik di kemudian hari. "Rata-rata, pemilik bangunan yang menjadi sasaran kajian potensi bangunan cagar budaya bisa memahami proses yang sedang dilakukan," katanya.
Pemerintah Kota Yogyakarta juga memberikan semacam apresiasi kepada pemilik bangunan cagar budaya untuk membantu pelestarian bangunan. "Nilanya tidak besar, sekitar Rp 10 juta sampai Rp 20 juta," katanya.
Sedangkan pada tahun anggaran 2023, akan dilakukan lomba pelestarian bangunan cagar budaya yang dapat diikuti oleh bangunan yang selama lima sampai 10 tahun terakhir belum mendapat apresiasi apapun dari pemerintah daerah.
Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta mencatat terdapat 179 bangunan cagar budaya di kota tersebut, baik yang mendapat pengesahan di tingkat nasional, DIY, maupun di tingkat Kota Yogyakarta.