Senin 23 Jan 2023 10:41 WIB

Wacana BIN di Bawah Kemenhan, PBHI: Merusak Fungsi Intelijen

PBHI menegaskan permintaan Presiden akan mengaburkan tata kelola kenegaraan.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Andri Saubani
Intelijen, ilustrasi
Intelijen, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) mengkritisi Presiden Jokowi yang meminta Kementerian Pertahanan (Kemenhan) menjadi koordinator intelijen di Indonesia. PBHI menilai permintaan itu melanggar UU No 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara, dari segi fungsi, struktur tata negara, dan tujuan dari intelijen itu sendiri. 

PBHI menegaskan permintaan Presiden akan mengaburkan tata kelola kenegaraan. Sebab Kemenhan bukan leading sektor dari pengelolaan informasi terkait dengan keamanan negara. 

Baca Juga

"Kemenhan bukanlah lembaga yang menurut undang-undang sebagai lembaga koordinasi intelijen negara," kata ketua PBHI Julius Ibrani dalam keterangannya, Senin (23/1/2023). 

PBHI meminta Presiden Jokowi tak mempolitisasi Kemenhan melalui perubahan fungsi dan struktur intelijen. Apalagi diduga tujuannya demi kepentingan politik. 

"Hanya karena investasi politik melalui Menhan Prabowo, sekaligus ajang peralihan pijakan politik dari Parpol pendukung dan seluruh komponennya, ke calon penguasa yang baru," sindir Julius. 

PBHI merujuk Pasal 1 Angka 1 UU 17/2011 yang menegaskan tugas Intelijen dalam pencegahan, penangkalan, dan penanggulangan setiap ancaman terhadap keamanan nasional. Definisi ini menjelaskan fungsi intelijen yang menstrukturkan hierarki instansi sektoral (TNI, Polri, Kejaksaan, Kementerian/Lembaga) sebagai pengumpul informasi dan fakta melalui isu dan perspektif sektoral. 

"Sehingga dapat dirumuskan secara holistik dan komprehensif oleh koordinator intelijen, yakni BIN," ujar Julius. 

PBHI menyebut Perpres No. 67 tahun 2013 tentang Koordinasi Intelijen Negara  menegaskan lagi relasi fungsi dan hierarki tersebut. Sehingga PBHI meyakini penempatan Kementerian Pertahanan di atas BIN melanggar UU No 17/2011. Hal itu justru terlihat hendak mengutamakan pendekatan sektoral pertahanan yang bernuansa militerisme.

"Artinya isu pertahanan membawahi isu hukum, hak asasi manusia, dan lainnya, dan berpotensi semakin menjauhkan kebijakan negara dari supremasi dan kebebasan sipil sebagai mandat reformasi," ujar Julius. 

Lebih jauh, PBHI menyebut mengubah posisi Kemenhan dalam fungsi dan strukur intelijen melanggar konstitusi UUD Negara RI Tahun 1945. Padahal, Kementerian Pertahanan adalah 1 dari 3 Kementerian yang tidak dapat dibubarkan atau diubah Presiden, karena diatur langsung oleh konstitusi UUD 45.

"Ini berpotensi mengubah Kementerian Pertahanan yang artinya melanggar konstitusi. Jangan sampai, pendekatan militerisme yang anti-supremasi sipil jadi basis utama fungsi intelijen ke depannya," tegas Julius. 

Sebelumnya, Presiden Jokowi meminta Kemenhan menjadi orkestrator informasi-informasi intelijen di semua lini.  Jokowi menyebut, Indonesia mempunyai banyak informasi intelijen baik yang berasal dari Badan Intelijen Negara (BIN), informasi intelijen dari TNI dan Polri, juga informasi intelijen dari Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).

Seluruh informasi intelijen tersebut, kata dia, harus diorkestrasi sehingga menjadi sebuah informasi yang solid. Hal ini ditekankan Jokowi dalam arahannya di Rapat Pimpinan Kementerian Pertahanan Tahun 2023, di kantor Kemenhan, Jakarta, Rabu (18/1/2023).

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement