Senin 23 Jan 2023 14:39 WIB

Kepada Mahasiswa Stikom Bandung, Ini Yang Diceritakan Seniman Budi Dalton

Tanpa komunikasi tak ada popularitas

Ketua Stikom Bandung Dr Dedy Djamaluddin Malik MSi (kiri), tokoh pers M Ridlo Eisy (tengah), dan Seniman Budi Dalton (kanan) berfoto di sela acara stadium generale di Kampus Stikom Bandung, Jl Ibrahim Adie 57, Kota Bandung, akhir pekan lalu.
Foto: Istimewa
Ketua Stikom Bandung Dr Dedy Djamaluddin Malik MSi (kiri), tokoh pers M Ridlo Eisy (tengah), dan Seniman Budi Dalton (kanan) berfoto di sela acara stadium generale di Kampus Stikom Bandung, Jl Ibrahim Adie 57, Kota Bandung, akhir pekan lalu.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Menjadi tokoh publik yang populer bukan perkara gampang. Selain butuh komunikasi publik yang efektif dan berkelanjutan, butuh waktu panjang untuk meraihnya. Di dalam proses panjang itu, ada banyak tantangan yang harus dihadapi.

Misalnya, disalahpahami orang, difitnah, dan tidak disukai orang. Karena itu, menjadi orang populer butuh kehati-hatian, kesabaran, dan konsistensi di bidangnya. Demikian dikemukakan seniman Budi Dalton dalam stadium generale di depan ratusan mahasiswa Stikom Bandung di kampus baru Jalan Ibrahim Adie No. 57 Kota Bandung, akhir pekan lalu.

Ceramah umum yang dimoderatori tokoh pers M Ridlo Eisy itu, mampu memicu antusias para mahasiswa untuk mengenal lebih jauh sosok Budi Dalton. Budi mengakui dibesarkan oleh seniman legendaris Harry Rusli.

Awalnya Budi sebagai penabuh drum hingga belajar memerankan seorang aktor, dan akhirnya mampu menjadi aktor yang membintangi banyak film. Ia juga sempat berkelana ke banyak negeri Asia.

Bekal yang seadanya membuat Budi terpaksa tidur di masjid, vihara, atau gereja. Banyak hikmah dari pengalaman getir itu, sehingga membuat Budi mampu bersikap toleran dan terbuka terhadap budaya dan nilai apa pun sepanjang membuka jalan kebenaran.

Sepulang pesantren dari banyak negara Asia, Budi dikaagetkan dengan banyaknya billboard yang mengusungnya menjadi wakil wali Kota Bandung bersama Kang Emil pada 2013. ‘’Saya kaget bukan main. Karena saya tak pernah menyalonkan diri,’’ ujar Budi di hadapan mahasiswa.

Rupanya, itu merupakan inisiatif teman-teman Budi untuk membuka kebekuan politik di Kota Bandung. Karena dukungannya bukan dari partai, melainkan calon dari perwakilan independen, maka pencalonan Budi Dalton membuahkan hasil yang tidak maksimal.

‘’Cara kampanye saya kala itu banyak berbeda dengan yang lain,’’ tuturnya.

Misalnya, di gang atau jalan, Budi memasang spanduk yang bertuliskan "Jangan Ngebut". Pesan kampanye Budi bersifat pelayanan sosial. Dirinya merasa kampanye seperti itu cukup menarik bagi anak-anak muda. Budi mengakui, politik bukan passion-nya. Pekerjaan utama Budi hingga sekarang adalah dosen.

Budi menjelaskan, popularitas seorang tokoh sangat bergantung pada pesan-pesan kontroversialnya. Gus Dur, misalnya, sering membuat pesan-pesan kontroversial. Dirinya juga kerap membuat pernyataan kontroversi, hingga sempat dilaporkan ke polisi.

‘’Sebagai tokoh publik, saya harus lebih hati-hati karena bakal dipelintir orang,’’ tambahnya. Yang penting, menurut putra tokoh Dana Setia itu, jangan pernah membuat pernyataan yang menghina pribadi orang.

Terkait isu pemimpin Sunda dan isu perubahan nama Provinsi Jawa Barat, menurut Budi, untuk memimpin Jabar itu bisa saja bukan dari tokoh yang lahir di Sunda. Yang penting, tegas dia, tokoh tersebut ‘nyunda’, yakni memiliki integritas dan kecerdasan, serta menghargai budaya setempat.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement