REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Direktur Komunikasi Kepresidenan Turki Fahrettin Altun mengatakan, aksi pembakaran Alquran tidak ada kaitannya dengan kebebasan berekspresi. Pernyataannya menanggapi perbuatan politisi sayap kanan berkebangsaan Swedia-Denmark, Rasmus Paludan, yang membakar Alquran di dekat Kedutaan Besar Turki di Stockholm pekan lalu.
“Ada perbedaan besar antara kebebasan berekspresi dan ujaran kebencian. Insiden ini (pembakaran Alquran oleh Paludan) mempromosikan kekerasan terhadap Muslim, khususnya Muslim di Swedia,” kata Altun dalam sebuah wawancara dengan surat kabar Swedia, Dagens Nyheter, dikutip Anadolu Agency, Senin (23/1/2023).
Dia pun membandingkan aksi pembakaran Alquran dengan Kristallnacht, yakni aksi pembantaian Yahudi oleh Nazi Jerman pada 1938. "Dalam insiden Kristallnacht, Nazi membakar halaman-halaman Taurat. Akankah otoritas Swedia mendefinisikan hal yang menjijikkan seperti itu kebebasan berekspresi?" ujar Altun.
Pada Sabtu (21/1/2023) pekan lalu, Rasmus Paludan melakukan aksi pembakaran Alquran di dekat Kedutaan Besar Turki di Stockholm. Kepolisian Swedia mengizinkan Paludan melaksanakan aksinya karena dianggap tak melanggar hukum dan merupakan bentuk kebebasan berekspresi.
Paludan memang sengaja melakukan aksi pembakaran Alquran itu di dekat Kedutaan Besar Turki di Stockholm. Dia menyebut aksinya merupakan respons atas upaya Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mempengaruhi kebebasan berekspresi di Swedia. Turki dan dunia Islam telah mengecam aksi pembakaran Alquran oleh Paludan.
Perdana Menteri Swedia Ulf Kristersson turut mengutuk aksi Paludan. Dia menolak aksi pembakaran kitab suci sebagai bentuk kebebasan berekspresi. “Kebebasan berekspresi adalah bagian mendasar dari demokrasi. Tapi yang legal belum tentu sesuai. Membakar buku-buku yang suci bagi banyak orang adalah tindakan yang sangat kurang ajar,” tulis Kristerrson lewat akun Twitter pribadinya pada Sabtu malam pekan lalu.
Saat ini memang ada sedikit kerumitan dalam hubungan Swedia dengan Turki. Swedia diketahui tengah berusaha bergabung dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Swedia, termasuk Finlandia, mengambil langkah tersebut di tengah kekhawatiran atas serangan Rusia ke Ukraina.
Dari 30 negara anggota NATO, sebanyak 28 di antaranya sudah menyetujui aksesi Swedia dan Finlandia. Hanya dua negara yang belum memberikan persetujuan, yakni Turki dan Hungaria. Konsensus harus dicapai oleh seluruh anggota NATO jika mereka hendak menerima anggota baru.
Penolakan Turki atas masuknya Swedia dan Finlandia ke NATO terkait kebijakan kedua negara atas kelompok milisi Kurdi, seperti Partai Pekerja Kurdistan (PKK). Ankara menuding Swedia dan Finlandia tak mendukung upaya perlawanan terhadap PKK dan Unit Perlindungan Rakyat Kurdi Suriah (YPG). Turki telah menetapkan dua kelompok tersebut sebagai organisasi teroris.
Selain itu, Turki menuduh Swedia dan Finlandia menampung sejumlah anggota PKK. Turki pun mengklaim bahwa Stockholm menolak mengekstradisi 21 orang yang diduga terkait terorisme. Sementara Finlandia menolak mengekstradisi 12 orang. Adanya semacam “komplain” dari Turki, telah menghambat proses aksesi Swedia dan Finlandia ke NATO.
Menteri Pertahanan Swedia Pal Johnson diagendakan mengunjungi Turki pada 27 Januari mendatang. Namun karena adanya aksi pembakaran Alquran oleh Rasmus Paludan, Ankara membatalkan lawatan Johnson.