REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur media dan komunikasi Kepresidenan Turki Fahrettin Altun menegaskan bahwa pembakaran salinan Al Quran di depan Kedutaan Besar Turki di Swedia "tidak ada hubungannya dengan kebebasan".
"Ada perbedaan besar antara kebebasan berekspresi dan ujaran kebencian. Insiden ini mempromosikan kekerasan terhadap Muslim, khususnya Muslim di Swedia," kata Altun dalam wawancara dengan harian Swedia Dagens Nyheter.
Pembakaran kitab suci umat Muslim itu oleh pemimpin partai sayap kanan Swedia Stram Kurs, Rasmus Paludan, pada Sabtu (21/1), memicu kecaman luas dari negara-negara Arab dan dunia Islam.
Dia pun menjelaskan bahwa pembatalan kunjungan Menteri Pertahanan Swedia Pal Jonson yang akan datang ke Turki adalah tanggapan Ankara atas izin yang diberikan pemerintah Swedia pada aksi pembakaran Quran tersebut.
"Tidak ada gunanya bertemu jika Stockholm tidak menanggapi masalah Ankara dengan serius," ujar dia.
Terkait keanggotaan Swedia di Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), Altun menyebut Turki mendukung perluasan NATO dan pada prinsipnya tidak menentang partisipasi Swedia dalam organisasi tersebut.
"Swedia telah mengambil beberapa langkah untuk mengatasi kekhawatiran Ankara, tetapi saya dapat mengatakan bahwa itu tidak cukup untuk memenuhi semua tuntutan," kata dia, seraya mengatakan bahwa Turki meminta Swedia menepati janjinya.
Swedia dan Finlandia secara resmi mengajukan diri untuk bergabung dengan NATO pada Mei 2022, sebagai respons atas perang Rusia di Ukraina yang berlangsung sejak 24 Februari 2022.
Namun Turki, yang telah menjadi anggota NATO selama lebih dari 70 tahun, menyatakan keberatandengan menuding kedua negara itu menolerir dan bahkan mendukung kelompok teror, termasuk PKK dan Organisasi Teroris Fetullah (FETO).
Juni tahun lalu, Turki dan kedua negara Nordik tersebut menandatangani sebuah memorandum pada pertemuan puncak NATO untuk mengatasi masalah keamanan yang diangkat oleh Ankara, sehingga membuka jalan bagi keanggotaan mereka dalam aliansi tersebut.