REPUBLIKA.CO.ID, MANILA - Filipina menginginkan setiap konflik baru di Laut China Selatan segera diselesaikan dengan melibatkan langsung diplomat tingkat tinggi. Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr. telah mengusulkan kepada China agar kedua negara mengadakan pembicaraan antara menteri luar negeri perihal ini.
Marcos mengatakan kepada jaringan TV Filipina dalam sebuah wawancara bahwa Presiden China Xi Jinping menyetujui proposalnya dalam pembicaraan mereka di Beijing awal bulan ini. Kedua belah pihak dikatakan sedang menyelesaikan rinci pengaturan tersebut. Namun belum ada reaksi langsung dari pejabat China.
Usulan Marcos bahwa diplomat tertinggi kedua negara memimpin Mekanisme Konsultasi Bilateral, yang saat ini ditangani oleh diplomat tingkat menengah. Pada 2017, negara tetangga Asia meluncurkan pembicaraan diplomatik reguler yang disebut Mekanisme Konsultasi Bilateral untuk membahas insiden di perairan yang disengketakan. Ini juga berisi bahasan untuk mencegah eskalasi saat membahas aspek lain dari hubungan mereka.
Menurut Marcos melibatkan menteri luar negeri kedua negara memungkinkan tanggapan yang lebih cepat terhadap konflik di laut yang disengketakan jika terjadi. "Usulan saya adalah kita membawa kelompok bilateral itu ke tingkat yang lebih tinggi,” kata Marcos.
Ia juga akan meminta duta besar Filipina untuk Cina menjadi bagian dari pembicaraan tingkat tinggi tersebut. "Saya menjamin Anda bahwa jika ada keputusan yang perlu diambil, salah satu dari mereka dapat mengangkat telepon dan berbicara dengan saya dan dalam lima menit kita akan mengambil keputusan," kata dia.
Marcos mengatakan Xi menyetujui proposalnya dan meminta menteri luar negeri Cina untuk membahas pengaturan baru tersebut dengan pejabat Filipina. "Saya pikir jika presiden, Presiden Xi, mengeluarkan perintah bahwa 'kami tidak akan melakukan itu lagi, kami akan melakukan sesuatu yang lain,' maka saya pikir itu akan terjadi. Saya pikir rantai komandonya cukup solid,” kata Marcos.
"Kami akan dapat melaporkan pelanggaran apa pun terhadap kesepakatan apa pun yang kami sepakati," imbuhnya.
Kendati begitu, masih harus dilihat apakah China akan melonggarkan tindakannya yang semakin agresif di perairan yang disengketakan dan mundur dalam konflik baru atau tidak. Beijing telah menolak dan terus menentang keputusan 2016 oleh pengadilan arbitrase yang didukung PBB yang membatalkan klaim teritorialnya yang luas atas dasar sejarah di Laut China Selatan.
Marcos menyarankan bahwa China perlu mengubah tindakannya untuk mencegah konflik di masa depan. "Saya pikir tindakan yang diperlukan benar-benar dari pihak China karena kami tidak mengirim kapal penjaga pantai ke perairan yang kami anggap sebagai perairan mereka atau perairan internasional. Mereka tinggal di perairan Filipina," ujar Marcos.
“Apa yang mereka lakukan adalah membayangi perahu nelayan kami,” katanya. Filipina, lanjutnya, akan terus menggunakan haknya untuk mengajukan protes diplomatik terhadap China meskipun dia mengusulkan pembicaraan tingkat tinggi yang bertujuan untuk segera mengatasi konflik di masa depan di laut.
China dan Filipina, bersama dengan Vietnam, Malaysia, Brunei, dan Taiwan mengalami kebuntuan yang semakin menegangkan atas klaim mereka yang tumpang tindih di jalur air yang sibuk dan kaya sumber daya. Laut China Selatan juga kerap dianggap sebagai titik api Asia yang potensial.
Terlepas dari pembicaraan soal Laut China Selatan, konflik terus berlanjut, termasuk insiden baru-baru ini yang dilaporkan oleh nelayan Filipina yang menuduh penjaga pantai China mengusir mereka dari Second Thomas Shoal yang diduduki Filipina. Wilayah air itu juga diklaim oleh Beijing.
Kapal penjaga pantai China dikatakan membayangi kapal mereka saat meninggalkan daerah yang disengketakan pada 9 Januari. Insiden itu terjadi beberapa hari setelah Marcos melakukan kunjungan ke China dan bertemu dengan Xi. Penjaga pantai Filipina mengatakan pihaknya mengerahkan lebih banyak kapal patroli untuk melindungi para nelayan Filipina setelah insiden tersebut.