REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi IX DPR Netty Prasetiyani mendukung transformasi kesehatan yang berusaha dilakukan Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Namun, salah satu upaya melalui revisi Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan tetap harus dilakukan secara berhati-hati.
Badan Legislasi (Baleg) yang tengah menyusun draf revisi UU Kesehatan menyatakan, RUU tersebut akan menggabungkan setidaknya 13 undang-undang. Tentu pembahasannya harus dilakukan secara komprehensif dan tak terburu-buru.
"Jangan sampai nasibnya seperti Undang-Undang Cipta Kerja, baru setahun dapat amar dari MK berstatus inkonstitusional bersyarat, diminta untuk merevisi selama dua tahun, tiba-tiba terbit lah Perppu," ujar Netty dalam rapat kerja dengan Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin, Selasa (24/1/2023).
"Nah, saya tidak ingin kejadian ini terulang pada UU Kesehatan," sambungnya.
Pernyataannya tersebut bukan tanpa alasan, karena ia melihat bahwa Baleg seakan terlalu cepat dalam penyusunan revisi UU Kesehatan. Hal yang sama ketika Baleg dan pemerintah membahas RUU Cipta Kerja yang menggunakan metode omnibus.
Keterburu-buruan tersebut akan berdampak pada minimnya penyerapan aspirasi dari pihak-pihak yang berkaitan dengan bidang kesehatan. Terutama para organisasi profesi yang menjadi pihak paling terdampak dari revisi UU Kesehatan tersebut.
"Seperti apa meaningful participation yang dilakukan dalam pembahasan ini, apakah sudah cukup mewadahi seluruh komponen masyarakat, seluruh organisasi profesi yang ada untuk bisa mencurahkan ide dan gagasannya," ujar Netty.
"Undang-undang yang seharusnya memberikan jaminan, memberikan kepastian, dan juga memberikan perlindungan pada semua komponen yang terlibat dalam pembangunan kesehatan kita," sambung Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR itu.
Budi sendiri mengapresiasi DPR lewat Baleg yang menginisiasi revisi Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Revisi undang-undang tersebut diketahui akan menggunakan metode omnibus yang akan menggabungkan undang-undang lain.
Ada enam masalah di sektor kesehatan yang membuat pemerintah mendukung adanya RUU omnibus Kesehatan itu. Pertama adalah kurangnya akses masyarakat ke layanan primer kesehatan.
Kedua adalah kurangnya kapasitas pelayanan rujukan di rumah sakit. Ia mencontohkan masih sangat kurangnya rumah sakit jantung dan stroke di banyak wilayah, yang membuat masyarakat menjadi kesulitan.
Ketiga adalah ketahanan kesehatan yang masih lemah. Selanjutnya, pembiayaan kesehatan yang masih belum efektif. Ia menjelaskan, masalah keempat tersebut terjadi akibat kurangnya koordinasi antara pemerintah dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Alasan kelima adalah masalah sumber daya manusia (SDM) di bidang kesehatan yang masih kurang dan tidak merata. Jelasnya, masalah SDM ini menjadi salah satu alasan utama pemerintah mendukung revisi UU Kesehatan yang menggunakan metode omnibus.
Sebab, jumlah dokter umum dan dokter spesialis di Indonesia masih sangat kurang yang menyebabkan tak meratanya mereka di banyak wilayah. Hal tersebut terbukti dari banyaknya dokter spesialis yang kerap membuka prakteknya di dua tempat atau lebih.
Alasan terakhir adalah minimnya integrasi teknologi kesehatan dan regulasi inovasi bioteknologi. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) disebutnya sedang melakukan transformasi kesehatan sebagai upaya untuk dapat menjawab permasalahan layanan kesehatan di masyarakat.