REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Badan keagamaan terkemuka Turki, Diyanet, mengumumkan rencananya mengambil tindakan hukum di luar negeri terhadap pembakaran kitab suci Alquran yang dilakukan politikus Swedia Rasmus Paludan, Sabtu (21/1/2023).
Kepala Diyanet Ali Erbas mengatakan atase dan konsultan diplomatik badan tersebut yang ada di 120 negara akan membawa tindakan pembakaran Alquran itu ke pengadilan. Diyanet dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) juga telah merencanakan pertemuan daring mengenai masalah tersebut pada Rabu (25/1/2023).
"Kami akan mengangkat suara kami tidak hanya menentang pembakaran Alquran yang keji di Swedia, tetapi juga terhadap serangan Islamofobia di negara-negara Eropa," kata dia, seperti dilansir Anadolu Agency, Rabu (25/1/2023).
Ali Erbas mengungkapkan, mereka akan menghubungi perwakilan dari berbagai organisasi melalui surat. Diyanet juga akan menunjukkan sikap atas serangan terhadap Alquran dan masjid semacam itu dengan menulis surat ke berbagai tempat.
"Semua intelektual, akademisi, aktivis, organisasi non-pemerintah, anggota media, dan orang-orang yang berpikiran benar yang percaya pada hukum dan hak asasi manusia dan memprioritaskan penghormatan terhadap agama dan perdamaian sosial di Eropa harus mengangkat suara mereka melawan serangan terbuka terhadap suci," kata Erbas.
Rasmus Paludan, pemimpin Partai Stram Kurs (Garis Keras), di bawah perlindungan polisi dan seizin pemerintah, membakar mushaf Alquran di luar Kedutaan Besar Turki di Stockholm pada Sabtu (21/1/2023).
Rasmus yang juga berkewarganegaraan Swedia sebelumnya pernah menggelar sejumlah aksi demonstrasi dengan membakar Alquran. Pada April tahun lalu, pengumuman Paludan tentang tur pembakaran Alquran selama bulan suci Ramadhan memicu kerusuhan di seluruh Swedia. Dikelilingi oleh polisi, Paludan membakar kitab suci dengan korek api menyusul cacian panjang hampir satu jam.
Dia menyerang Islam dan imigrasi di Swedia. Sekitar 100 orang berkumpul di dekatnya untuk demonstrasi tandingan dengan damai. "Jika Anda tidak berpikir harus ada kebebasan berekspresi, Anda harus tinggal di tempat lain," katanya saat itu.