REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar mengaku, rencana revisi Undang-Undang Desa tidak hanya untuk mengakomodasi usulan perpanjangan masa jabatan kepala desa (kades). Ia menegaskan, ada sejumlah isu penting lainnya yang perlu diakomodasi lewat proses revisi tersebut.
Halim menjelaskan, isu krusial itu seperti soal kesejahteraan kades. Revisi juga diperlukan untuk mengatur keberadaan perangkat desa, serta mengatur secara lebih jelas hubungan antara kades dan perangkat desa.
Revisi dibutuhkan pula untuk mengubah ketentuan pemanfaatan Dana Desa. Sebab, kata dia, saat ini muncul keinginan dari kades agar mereka diberikan kewenangan penuh untuk menentukan penggunaan dana yang berasal dari APBN itu.
"Banyak masalah yang harus dibenahi lewat revisi UU Desa. Ini yang kecil-kecil saja, belum bicara dana desa yang dinaikkan, tentang pertanggungjawaban dan seterusnya,” kata Halim lewat siaran persnya, Rabu (25/1/2023).
Halim menyebut, sejumlah poin penting tersebut seolah luput dari sorotan publik. Pasalnya, publik terfokus pada isu penambahan masa jabatan kepala desa, dari enam tahun menjadi sembilan tahun.
Terkait rencana perpanjangan masa jabatan kades itu sendiri, Halim kembali menyatakan bahwa tujuannya untuk meredam konflik antarmasyarakat usai pemilihan kades (Pilkades). Menurut Halim, konflik pasca-pilkades hampir terjadi di seluruh desa Tanah Air.
Bahkan, di beberapa daerah, konflik tersebut terus berlarut-larut sehingga membuat pembangunan dan aktivitas di desa tersendat. Selain itu, konflik pasca-pilkades itu juga bisa menggerus nilai-nilai luhur khas desa.
Setelah menelaah dampak-dampak konflik tersebut dan meminta pendapat akademisi, Halim berkesimpulan bahwa efek negatif konflik pasca-pilkades akan lebih mudah diredam jika masa jabatan kades diperpanjang. "Solusinya bagaimana supaya proses pembangunan bisa berjalan dengan lancar, bagus, kondusif tapi efek pilkades bisa terselesaikan dengan baik,” kata Halim.
Untuk diketahui, UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mengatur masa jabatan kades selama enam tahun, dengan maksimal tiga periode. Dengan begitu, seorang kades maksimal bisa menjabat selama 18 tahun. Adapun Halim mengusulkan agar masa jabatan kades diperpanjang menjadi sembilan tahun dengan maksimal dua periode, sehingga total masa jabatan tetap 18 tahun.
Kemarin, Wakil Ketua Komisi II DPR Junimart Girsang menyatakan bahwa Komisi II sudah mengusulkan revisi UU Desa kepada Badan Legislasi (Baleg) untuk menjadi usul inisiatif DPR. Kendati begitu, dia menegaskan bahwa revisi ini tidak serta akan memperpanjang masa jabatan kades. Perpanjangan masa jabatan itu akan diputuskan dalam proses pembahasan revisi.
Baca juga : Pakar: Ada Kepentingan Parpol di Balik Rencana Perpanjangan Jabatan Kades
Rencana perpanjangan masa jabatan kades ini menyeruak usai ratusan kades menggelar demonstrasi di depan Gedung DPR, Jakarta, pada Selasa (17/1/2023) lalu. Sementara demonstrasi berlangsung, politikus PDIP Budiman Sudjatmiko menemui Presiden Jokowi di Istana Kepresidenan, Jakarta. Usai bertemu, Budiman mengeklaimPresiden Jokowi setuju dengan tuntutan memperpanjang masa jabatan kades menjadi sembilan tahun.
Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) pada Senin (23/1/2023), mengusulkan agar masa jabatan kades diperpanjang jadi sembilan tahun dengan maksimal tiga periode. Dengan begitu, seorang kades bisa menjabat selama 27 tahun.
Peneliti Riset Politik di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Profesor Siti Zuhro mengkritik keras rencana perpanjangan masa jabatan kades ini. Baginya, hal ini akan membuat kades berkuasa terus menerus seperti zaman feodal. Sirkulasi kepemimpinan pun tersendat di desa. Selain itu, perpanjangan masa jabatan juga akan semakin membuka peluang kades untuk korupsi.
Baca juga : Suka Nggak Pakai Celana Dalam? Ini Kata Ahli Urologi dan Ginekologi