REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Tidak ada yang tahu kapan ajal menjemput kita. Maka sudah sepatutnya setiap Muslim mengisi detik demi detik kehidupan dengan berbagai amal shaleh. Dengan istiqamah berbuat amal shaleh, lalu ketika ajal datang menjemputnya, maka ia meninggal dalam keadaan yang baik.
Namun, bagaimana jika seseorang meninggal ketika hendak menuju kemaksiatan? Orang yang demikian ini menandakan bahwa ia telah memiliki niat untuk melakukan maksiat tersebut, dan meninggal dalam ketidaktaatan.
Diriwayatkan dari Nufail bin Al Harits Al-Tsaqofi RA, dia berkata bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, "Jika dua orang Muslim bertemu dengan membawa pedang (saling bunuh-membunuh), maka orang yang membunuh dan yang dibunuh itu masuk neraka."
Lalu Nufail berkata, "Wahai Rasulullah, yang membunuh (pantas masuk neraka), namun bagaimana dengan yang dibunuh (mengapa masuk neraka juga)?" Nabi Muhammad SAW bersabda, "Karena ia juga ingin membunuh temannya." (HR Bukhari dan Muslim)
Ibnu Hajar al-Asqolani, dalam kitab syarah Shahih Bukhari Fath al-Baari, menjelaskan, hadits tersebut menunjukkan bahwa orang yang dibunuh itu akan dihukum sesuai dengan kadar kepantasannya dan tidak dikenakan hukuman pembunuhan.
Siapa yang telah memiliki keinginan untuk melakukan dosa, maka akan dicatat sebagai perbuatan buruk. Dan jika dia sampai melakukannya, maka dosa selanjutnya akan pula dicatat.
Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (QS An-Nur ayat 19)
Sementara itu, Ibn al-Jawzi menjelaskan, jika seseorang dalam hatinya punya pikiran untuk melakukan maksiat (Al-Hamm), maka tidak dimintai pertanggungjawaban. Namun ketika yang bersangkutan sudah memiliki tekad atau telah membuat keputusan dalam hatinya (Al-'Azm) untuk melakukan suatu keburukan, maka itu termasuk perbuatan hati.
Secara bahasa, Al-Hamm berarti keinginan atau maksud, dan tingkatannya belum sampai menetapkan. Sedangkan Al-'Azm berarti sudah bertekad, sudah menetapkan, sudah memutuskan, atau sudah merencanakan.
Lebih lanjut, Ibnul Jawzi menjelaskan perbedaan antara al-Hamm dan al-'Azm, dengan mengibaratkan perbedaan tersebut dengan orang yang melaksanakan sholat. Jika seseorang dalam sholatnya terlintas pikiran untuk menghentikan sholat tersebut, maka sholat itu tidak terhenti. Namun bila ia sudah menetapkan atau sudah memutuskan dalam hatinya untuk menghentikannya, maka sholat itu batal.
Sumber: