REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Ketua Umum Pengurus Besar Nadhlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) menegaskan pihaknya melarang peserta pemilu menggunakan identitas NU saat berkontestasi. Gus Yahya mengaku larangan ini sebagai upaya mencegah praktik penggunaan politik identitas oleh peserta Pemilu 2024.
Larangan ini disebabkan masih ada kandidat memobilisasi dukungan publik menggunakan identitas NU pada Pemilu 2019 kemarin. "NU mencegah digunakannya identitas NU sebagai senjata politik dalam kompetisi nantinya," kata Gus Yahya dalam diskusi daring yang digelar Kementerian Dalam Negeri, Rabu (25/1/2023).
Eks juru bicara Presiden Gusdur itu menegaskan, praktik politik identitas dan politik SARA selama ini membayangi dinamika pemilihan di berbagai tingkatan di Indonesia. Padahal, politik identitas adalah strategi politik yang merusak karena mengedepankan identitas, bukan gagasan rasional.
Selain itu, lanjut Gus Yahya, politik identitas juga dapat memicu konflik di tengah masyarakat. Konflik ini tentu mengancam persatuan bangsa. "Karena itu, menuju pemilu tahun 2024, NU sendiri menetapkan politik identitas ini sebagai perhatian utama," kata Gus Yahya.
Ketum PBNU berharap pelaksanaan Pemilu 2024 secara serentak bisa mengurangi ketegangan politik antarkubu dan mencairkan politik identitas yang kadung muncul. Sebab, kubu politik yang saling bertarung saat Pilpres pada 14 Februari 2024 bisa saja berkoalisi saat Pilkada pada 27 November 2024.
"Eksperimen pemilu serentak dari pusat ke daerah, dari pilpres sampai pilkada, ini sebetulnya eksperimen yang menarik karena akan mengacak pada saat yang sama formasi koalisi di antara para pihak yang terlibat,” ujar Gus Yahya.
"Semoga ini bisa memberikan penahan yang efektif dari kecenderungan politik identitas," imbuhnya.