Kamis 26 Jan 2023 14:07 WIB

5 Catatan Kasus Pembakaran Alquran Swedia dan Babak Baru Serangan Terhadap Islam  

Pembakaran Alquran di Swedia menunjukkan buruknya Islamofobia

Rep: Mabruroh/ Red: Nashih Nashrullah
Para pengunjuk rasa mencoba membakar foto politikus sayap kanan Swedia-Denmark Rasmus Paludan di depan Konsulat Jenderal Swedia selama protes di Istanbul, Turki, 22 Januari 2023. Politikus sayap kanan Swedia-Denmark Rasmus Paludan diizinkan menggelar demonstrasi dan membakar mushaf Alquran di depan kedutaan Turki di Stockholm pada 21 Januari 2023.
Foto: EPA-EFE/SEDAT SUNA
Para pengunjuk rasa mencoba membakar foto politikus sayap kanan Swedia-Denmark Rasmus Paludan di depan Konsulat Jenderal Swedia selama protes di Istanbul, Turki, 22 Januari 2023. Politikus sayap kanan Swedia-Denmark Rasmus Paludan diizinkan menggelar demonstrasi dan membakar mushaf Alquran di depan kedutaan Turki di Stockholm pada 21 Januari 2023.

REPUBLIKA.CO.ID, STOCKHOLM — Pekan lalu, Sabtu (21/1/2023) seorang ultranasionalis, ekstremis sayap kanan dan politisi rasis, Rasmus Paludan membakar kitab suci Islam Alquran. Aksinya dilakukan di depan Kedutaan Besar Turki di Stockholm di tengah inersia pasukan keamanan Swedia.

Paludan, seorang warga negara Swedia dan pemimpin partai politik Denmark Stram Kurs (Garis Keras), telah meminta izin pejabat Swedia untuk membakar Alquran. 

Baca Juga

Lalu pejabat Swedia mengizinkan Paludan yang pernah terjerat kasus rasisme di negara asalnya, Denmark. 

Pemerintah Swedia telah menyatakan bahwa tindakan memalukan dan tidak sopan ini merupakan kebebasan berekspresi. Namun, bukan itu masalahnya. Jelas bagi semua orang bahwa kebebasan memiliki batasnya. 

Seperti banyak hak dan kebebasan dalam demokrasi modern, baik kebebasan berekspresi maupun kebebasan mengadakan demonstrasi tidak terbatas. Kebebasan ini tidak dapat digunakan dengan cara yang melanggar hak orang lain atau ketertiban umum. 

Tidak seorang pun dapat menemukan alasan untuk menyerang individu, bangsa, negara, dan agama lain. Kejahatan rasial adalah kejahatan rasial, apakah itu dilakukan terhadap orang Kristen, Muslim atau agama lain.

Faktanya, menurut Kovenan PBB tentang Hak Sipil dan Politik yang diadopsi pada 1966, kebebasan berekspresi dapat dibatasi untuk tujuan menghormati hak dan martabat orang lain dan melindungi keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan dan moral (Pasal 19). 

Selain itu, peraturan yang lebih mendesak dibuat dalam Pasal 20 kovenan, yang meminta undang-undang untuk melarang “pembelaan permusuhan nasional, ras, atau agama apa pun yang memicu diskriminasi, kebencian, atau kekerasan.”

“Melihat lebih dekat, orang dapat melihat bahwa ada dimensi yang berbeda dari serangan ini. Saya akan menganalisis secara singkat berbagai arti dari provokasi ini,” ujar Direktur Kajian Kebijakan Luar Negeri di SETA Foundation, Muhittin Ataman dilansir dari Daily Sabah, Kamis (26/1/2023).

Baca juga: Islam akan Jadi Agama Mayoritas di 13 Negara Eropa pada 2085, Ini Daftarnya 

 

Pertama-tama, serangan ini bukanlah kejahatan kebencian yang terisolasi, karena kejahatan tersebut dilakukan seorang pemimpin partai politik (rasis). 

Sayangnya, banyak politisi lain dari berbagai negara Eropa telah mengulangi kejahatan rasial yang sama. 

Jika kejahatan rasial ini dibiarkan begitu saja, kejahatan ini akan terus meningkat di masa depan, yang akan berakhir dengan hilangnya praktik multikulturalisme Eropa yang sudah berlangsung lama dan budaya hidup berdampingan secara damai. 

Sangat disayangkan melihat bagaimana pemerintah Eropa, secara langsung atau tidak langsung, membuka jalan bagi kalangan ultranasionalis dan xenofobia untuk mendominasi politik Eropa.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement