Kamis 26 Jan 2023 15:58 WIB

Di Sidang MK, DPR Sebut Penggugat tak Memiliki Kedudukan Hukum Menguji Sistem Pemilu

PDIP memberikan keterangan berbeda dengan delapan fraksi di sidang MK.

Rep: Febryan A/ Red: Agus raharjo
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Aswanto (tengah) bersama sejumlah Hakim Konstitusi mendengarkan sumpah yang diambil dari ahli pemohon saat sidang uji Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum di Gedung Mahkamah Konsitusi, Jakarta, Kamis (20/10/2022). Sidang tersebut beragendakan mendengarkan keterangan dari dua ahli pemohon.
Foto: ANTARA/M Risyal Hidayat
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Aswanto (tengah) bersama sejumlah Hakim Konstitusi mendengarkan sumpah yang diambil dari ahli pemohon saat sidang uji Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum di Gedung Mahkamah Konsitusi, Jakarta, Kamis (20/10/2022). Sidang tersebut beragendakan mendengarkan keterangan dari dua ahli pemohon.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perwakilan pihak DPR menyatakan, berbagai dampak negatif yang muncul akibat pemilihan legislatif (Pileg) dengan sistem proporsional terbuka merupakan bagian dari dinamika lapangan. Hal itu disampaikan DPR dalam sidang gugatan uji materi atas sistem proporsional terbuka di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis (26/1/2023).

Keterangan DPR dalam sidang tersebut disampaikan anggota Tim Hukum DPR, yakni Supriansa dari Komisi III. Supriansa awalnya menjabarkan berbagai dampak positif penerapan sistem proporsional terbuka yang telah diterapkan sejak Pemilu 2009 hingga Pemilu 2019.

Baca Juga

Supriansa lantas menyoroti dalil para penggugat yang menyebut sistem proporsional terbuka mengakibatkan rumitnya penyelenggaraan pemilu, tingginya biaya pemilu, dan memunculkan potensi korupsi. "DPR RI berpandangan bahwa hal tersebut merupakan konsekuensi pelaksanaan demokrasi dan bagian dari dinamika implementasi di lapangan," tuturnya, di Sidang MK, Kamis (26/1/2023).

Sebagai gambaran, dalam sistem proporsional terbuka, pemilih dapat memilih caleg yang diinginkan ataupun partainya. Caleg yang mendapat suara terbanyak bakal memenangkan kursi parlemen. Pakar menilai kelemahan sistem ini adalah maraknya praktik politik uang.