REPUBLIKA.CO.ID, BERLIN–Komisaris Anti-Rasisme pemerintah Jerman, Reem Alabali-Radovan mengatakan setelah Sinti dan Roma, Muslim adalah minoritas yang paling tidak diterima di Jerman.
Karena jilbab menonjol sebagai simbol agama, perempuan Muslim khususnya mengalami diskriminasi baik dalam kehidupan sehari-hari, saat mencari tempat tinggal atau di pasar tenaga kerja.
Untuk mengatasi ini, koalisi SPD Sosial Demokrat Kanselir Olaf Scholz, Partai Hijau dan FDP liberal memperkuat Badan Anti-Diskriminasi negara dengan menunjuk Ferda Ataman sebagai Komisaris Federal Independen pertama untuk Anti-Diskriminasi.
Menurut Ataman, bagaimanapun, partai-partai yang berkuasa juga menjanjikan amandemen yang menyederhanakan Undang-Undang Kesetaraan Umum yang sangat rumit yang dikenal sebagai AGG di Jerman untuk memudahkan mereka yang terkena dampak demi membela diri dari diskriminasi.
“Tenggat waktu yang harus diambil korban untuk mengambil tindakan hukum terhadap diskriminasi terlalu singkat dalam delapan minggu,” kata Ataman dilansir dari Euractiv, Kamis (26/1/2023).
Selain itu, mereka yang terkena dampak akan menanggung risiko litigasi sendiri. “Padahal mereka sendirilah yang mengalami diskriminasi dan kini sering harus menindak majikannya sendiri,” tambah Ataman.
Hak asosiasi untuk menuntut
Seperti Ataman, anggota Bundestag sosial-demokratis Josephine Ortleb percaya asosiasi harus memiliki hak untuk menuntut masalah tersebut. “Sayangnya, kami tidak dapat menyepakati hal ini dalam negosiasi koalisi di tingkat federal,” katanya kepada EURACTIV.
Hak asosiasi untuk menggugat akan memungkinkan asosiasi antidiskriminasi untuk mengambil tindakan hukum terhadap pelanggaran hukum kesetaraan.
Baca juga:Putuskan Bersyahadat, Mualaf JJC Skillz Artis Inggris: Islam Memberi Saya Kedamaian
Di pihak Partai Hijau, Misbah Khan, anggota Komite Urusan Dalam Negeri Bundestag, juga percaya bahwa reformasi dan hak asosiasi untuk menuntut khususnya sudah lama tertunda. “Diskriminasi dan rasisme adalah masalah struktural dan sosial,” katanya.
Namun memperkenalkan hal ini ke dalam undang-undang sejauh ini gagal karena FDP bersikap skeptis terhadap gagasan tersebut. “Kami pada dasarnya skeptis tentang instrumen aksi kolektif. Kami ingin memberdayakan dan mendukung orang-orang untuk membela hak-hak mereka sendiri,” kata Katrin Helling-Plahr, MEP dan juru bicara kebijakan hukum kelompok parlemen FDP.
“Kami sebagai koalisi telah melakukan evaluasi terhadap AGG di periode legislatif ini,” lanjutnya.