REPUBLIKA.CO.ID, Sebuah rumah di Jalan Sriwijaya Raya Nomor 26, Selong, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, menjadi salah satu saksi kehidupan Fatmawati, sebagai ibu negara pertama Republik Indonesia.
Tumah tersebut tampak begitu sederhana, sama seperti kesan orang-orang yang mengenal ibu penjahit Bendera Merah Putih Kemerdekaan itu. Rumah berdesain arsitektur zaman kolonial dahulu itu didominasi warna putih.
Di tengah teriknya matahari, rumah ini terasa asri dan sejuk lantaran ada banyak pohon yang mengelilingi. Termasuk pohon beringin dan kolam ikan di sisi kiri bangunan rumah.
Saat menjejakkan kaki di teras depan rumah, terdapat tiga bangku berjejer rapi, seakan mengajak para tamu untuk bersantai sejenak di rumah tersebut. Ketika mengitari rumah yang luasnya sekitar 718 meter persegi dan di atas tanah seluas 1.400 meter persegi tersebut, sekelilingnya tampak terawat, meski ada beberapa perabotan rumah yang terlihat usang.
Berdasarkan keterangan di lokasi, saat ini rumah ibu Fatmawati itu menyambung menjadi satu dengan rumah belakang yang beralamat di Jalan Sriwijaya II Nomor 9. Selain di Jakarta, Fatmawati memiliki rumah asli di Bengkulu yang berada di tempat yang saat ini sudah menjadi kantor BNI Cabang Utama Bengkulu di jalan S Parman Nomor 34, Kelurahan Penurunan, Kecamatan Ratu Samban, Kota Bengkulu, Provinsi Bengkulu.
Tempat itu berjarak sekitar 400 meter dari rumah yang saat ini disebut sebagai Museum Fatmawati Soekarno. Menurut penulis buku-buku bertema Soekarno, Roso Daras, rumah di Bengkulu itu merupakan tempat pengasingan Soekarno pada tahun 1938 hingga 1942 H.
Saat itu ibu Fatmawati pernah menjadi murid di kala Soekarno mengajar di daerah tersebut. "Fatmawati pernah tinggal di situ lantaran disuruh mondok oleh orang tuanya bernama apak Hasan Din dan bertemu dengan anak angkat Soekarno-Inggit Garnasih bernama Ratna Djuami," kata Roso Daras, dalam perbincangan dengan ANTARA, beberapa waktu lalu.
Cagar budaya
Rumah wanita asal Bengkulu itu telah ditetapkan dan berstatus sebagai cagar budaya melalui rekomendasi Tim Ahli Cagar Budaya pada 16 Februari 2022. Rekomendasi cagar budaya rumah Ibu Fatmawati dituangkan melalui Berita Acara Rekomendasi Nomor 181/TACB/Tap/Jaksel/II/2022. Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono kemudian menetapkan status bangunan cagar budaya melalui Surat Keputusan Gubernur DKI Nomor 1207 Tahun 2022 yang ditandatangani pada 27 Desember 2022.
Roso Daras berharap rumah Ibu Fatmawati bisa dibuka untuk umum, mengingat bangunan bersejarah berusia lebih dari 50 tahun tersebut memiliki nilai historis yang bisa diajarkan. Mulai dari pendidikan, sejarah, maupun kebudayaan. Roso Daras berharap rumah salah satu istri Soekarno itu memberikan warisan nilai edukasi yang bisa disaksikan langsung, seperti foto, barang peninggalan, hingga konten dari segi sejarah lainnya.
Dengan demikian, diharapkan anak-anaknya bisa mendukung ketetapan rumah Ibu Fatmawati sebagai cagar budaya, dengan menyumbang sejumlah dokumen ibunya, benda, artefak, dan sebagainya, sehingga publik bisa memaknai rumah itu tak hanya sebatas cagar budaya semata. Dengan status sebagai cagar budaya yang dibuka untuk umum, nantinya para pelajar bisa membuat kajian mengenai arsitektur bangunan, maupun bahan literasi sejarah mengenai kehidupan ibu negara.
Meski dibuka untuk umum, bangunan tersebut tetap bisa dijaga keaslian dam perawatannya, dengan mengatur jadwal berkunjung. Sehingga keluarga punya waktu sendiri untuk melakukan perawatan ataupun mengadakan kegiatan di rumah tersebut.
Masa lalu
Rumah bersejarah itu juga bisa disebut saksi kehidupan Fatmawati, setelah meninggalkan Istana Negara, usai Presiden RI Soekarno meminta izin kepadanya untuk menikah lagi dengan wanita bernama Hartini pada 1953. Kala itu, Ibu Fatmawati tidak setuju dan tidak mau dimadu. Kendati demikian, Bung Karno memastikan Ibu Negara Indonesia tetap Fatmawati.
Rumah Ibu Fatmawati di Kebayoran Baru merupakan momen kesendirian ibu negara lantaran ia tidak ditemani Soekarno dan anak-anaknya yang menetap di istana negara. Jika Soekarno ke Istana Bogor, maka Ibu Fatmawati akan bertemu dengan istrinya saat itu yang bernama Hartini.
Roso Daras menambahkan, sampai saat ini belum ada keterangan pasti mengenai dokumen perceraian Soekarno dan Fatmawati, sehingga dimungkinkan mereka tidak sepenuhnya bercerai. "Satu satunya istri dan mantan istri yang tidak langsung datang melihat jasad Bung Karno ketika disemayamkan di Wisma Yaso, ya hanya Ibu Fat," ujar Roso Daras.
Selain itu, rumah ini juga menjadi saksi pernikahan Rachmawati Sukarnoputri dan dr Martomo Pariatman Marzuki atau Tommy pada 1969. Saat itu presiden yang akrab disapa Bung Karno tengah menjalani tahanan rumah di Wisma Yaso, diminta Rachma menjadi wali nikah. Bung Karno, kala itu, sempat hadir, tapi sebentar karena statusnya saat itu sebagai tahanan. Kemudian ia kembali lagi ke Wisma Yaso.
Dengan demikian, melalui keterangannya, Roso Daras berharap bahwa anak-anak Fatmawati dan Soekarno bisa lebih merawat rumah peninggalan orang tua mereka yang kini dijadikan cagar budaya. Jangan sampai sejarah hanya terlewat dan tidak dikenang melalui tulisan maupun benda peninggalannya, dengan sejarah kita bisa belajar di masa lalu dan mengubah masa depan menjadi lebih baik.