REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Anggota Komisi Hukum DPR RI menilai perubahan redaksi dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sangat membahayakan masa depan dan integritas di tubuh MK. Ini berpotensi menjadikan MK sebagai “alat” segelintir kelompok dalam memenuhi ambisi politiknya.
Hal ini disampaikan Nasir menyikapi pernyataan penggugat perkara nomor 103/PUU-XX/2022 yakni Zico Leonard Djagardo Simanjuntak, dalam sebuah media online. Zico menduga ada individu hakim mengganti substansi itu sebelum dipublish di website MK. "Jadi mengubah 'dengan demikian' menjadi 'ke depannya', dan risalah sidang, bukan di putusan doang. Berarti kan ini sengaja kalau di risalahnya pun berubah. Jadi setelah sidang itu langsung diganti itu, sebelum dipublikasi," kata Zico, dalam berita tersebut.
Atas dugaan kasus ini, Nasir Djamil memdorong agar MK membentuk dewan etik untuk menelusuri perubahan redaksi sebagaimana yang terdapat dalam salinan putusan terkaitan pergantian Hakim MK Aswanto di tengah jalan. Politkus PKS itu menduga perubahan redaksi meskipun terdiri hanya dua suku kata tapi berimplikasi terhadap duduk perkara yang dimohonkan oleh pemohon.
“Saya menduga ada kesengajaan terhadap perubahan itu redaksi dalam salinan putusan itu. Tidak seperti biasanya, MK selalu cermat dan prudent dalam menyalin putusan hukumnya.” kata Nasir kepada Republika, Sabtu (28/1/2023).
Pembentukan Dewan Etik dalam pandangan Nasir, merupakan langkah awal untuk menjawab keragu-raguan publik soal adanya “pat gulipat” perubahan redaksi dalam salinan tersebut. Pembentukan dewan itu diharapkan dapat menjaga kewibawaan MK dan hakimnya yang berpredikat negarawan.
“Lembaga yang diisi oleh negarawan itu ibarat lembaga yang diisi oleh manusia setengah dewa. Karena itu tidak boleh dianggap remeh soal yang kini telah menjadi perhatian publik. Semoga DPR dan Presiden mendorong upaya pembentukan dewan etik tersebut,” papar anggota DPR dari daerah pemilihan Aceh ini.