Ahad 29 Jan 2023 09:55 WIB

Pantas Saja Banyak Pengemis Kaya Raya di Indonesia, Ini Penyebabnya

Indonesia didaulat sebagai negara paling dermawan nomor pertama di dunia.

Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Natalia Endah Hapsari
Pengemis di Menteng, Jakarta/ilustrasi
Foto: Republika/Mg14
Pengemis di Menteng, Jakarta/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG---Masyarakat Indonesia memang dikenal mempunyai keramahan, kepedulian dan jiwa sosial tinggi. Tak mengejutkan bila pada 21 Oktober 2022 lalu Indonesia didaulat sebagai negara paling dermawan nomor pertama di dunia dengan jumlah presentase 68 persen oleh World Giving Index (WGI) 2022. 

Tentunya, tak heran bila pengemis pun bertumbuhan di mana-mana. Mau bukti? 

Baca Juga

Contohnya, Indonesia memiliki salah satu desa yang dikenal dengan desa pengemis tetapi hidup masyarakatnya makmur. "Tapi kemakmuran mereka tidak menghentikan aksi. Nah, harusnya masyarakat Indonesia bisa lebih bijak, berpikir rasional dan bertindak dengan tegas,” kata Kepala Prodi Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Luluk Dwi Kumalasari.

Contoh lain seperti yang sempat heboh baru-baru ini yaitu ketika salah satu akun Tiktok bernama TM Mud Bath menuai banyak kritik dari netizen karena siaran langsung mandi lumpur. Dalam konten itu juga melibatkan lansia yang membuat masyarakat iba dan berujung memberikan hadiah.

Luluk menilai, mengemis online termasuk fenomena yang membuat resah masyarakat. Fenomena tersebut juga dirasa miris karena baisanya meminta belas kasih orang lain secara luring. "Kini malah muncul di dunia maya," kata Luluk.

Luluk menjelaskan, yang melatarbelakangi maraknya mengemis online karena kemajuan teknologi. Terlebih media sosial memberi kebebasan dan kemudahan kepada manusia untuk mengespresikan dirinya untuk tujuan apapun, termasuk mencari uang. Kedua, kemiskinan dan tuntutan yang semakin tinggi yang berakibat mendorong seseorang untuk mencari cara instan mendapatkan keuntungan. 

Mengemis online dianggap solusi tepat menurut mereka karena mendapatkan uang yang berasal dari pemberian netizen. Ketiga, karena ada kesempatan di mana tidak adanya batasan tegas dari pihak media sosial dalam memilih dan memilah konten mana yang boleh dipublikasi dan tidak.

Keempat adalah persepsi masyarakat tentang konten hiburan yang sudah bergeser. Dulu, definisi hiburan adalah menyenangkan dan tidak menyusahkan orang lain. Namun sekarang konten menyusahkan orang lain bisa dianggap sebagai hiburan. 

"Kemudian yang kelima adalah belum adanya perlindungan terhadap kelompok rentan sehingga kelompok rentan sering menjadi sasaran eksploitasi," ucap Luluk dalam pesan resmi yang diterima Republika.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement