REPUBLIKA.CO.ID, AMMAN – Kebebasan berbicara kerap menjadi prinsip masyarakat demokrasi liberal. Perdebatan akan batasan-batasannya kerap muncul ketika dihadapkan pada sebuah kasus seseorang yang melakukan tindakan di luar batas, seperti membakar dan menodai Alquran.
Aksi yang terjadi di Stockholm dan Denmark baru-baru ini contohnya, memicu beragam reaksi dari dunia. Sang pelaku, Rasmus Paludan, dengan kedok kebebasan berekspresi, berharap dapat memicu kemarahan dan kecaman jutaan umat Islam di seluruh dunia. Dan itulah yang biasanya terjadi.
Jurnalis dan komentator politik yang tinggal di Amman, Yordania, Osama Al Sharif, menyebut tindakan tersebut memberi makan ekstremis di semua sisi. Bahkan, hal ini dapat mengarah pada tindakan pembalasan dan kriminal yang tidak dapat dibenarkan.
Salah satunya adalah kasus surat kabar Denmark Jyllands-Posten yang menerbitkan kartun menghina yang menggambarkan Nabi Muhammad (SAW) pada 2005, yang juga terjadi pada majalah Charlie Hebdo di Prancis pada 2012. Dalam kedua kasus tersebut terjadi pembalasan, yang mana dalam kasus Charlie Hebdo berujung pada kematian.
Politikus sayap kanan Swedia Rasmus Paludan, dilaporkan membakar salinan Alquran di Stockholm, yang mana Pemerintah Swedia mengecam tindakan tersebut, tetapi menggarisbawahi apa dia lakukan berada di bawah hak kebebasan berbicara. Sejak saat itu, politikus yang melakukan aksi keji itu mengaku mendapat ancaman pembunuhan.
"Politisi Barat dengan mudah mengeklaim membakar Alquran atau mencemooh Nabi Muhammad SAW tidak dapat dilarang, karena akan melanggar prinsip-prinsip demokrasi. Tapi masalahnya jauh lebih rumit dari itu," ucap dia dalam artikelnya di Gulf News, Ahad (29/1/2023).
Dia menyebut ada batasan kebebasan berekspresi jika menyangkut penghinaan terhadap kepercayaan jutaan orang. Ironisnya, umat Islam, bahkan mereka yang tinggal di negara demokrasi Barat, tidak berani menodai Alkitab atau menghina Yesus Kristus.
Umat Islam harus mengutuk tindakan kekerasan terhadap mereka yang menghina mereka. Meski demikian, mereka tetap berusaha menunjukkan toleransi beragama, bahkan saat mereka mengungkapkan kemarahan dan kekecewaan pada siapa saja yang menyerang keyakinan mereka.
Baca juga: Putuskan Bersyahadat, Mualaf JJC Skillz Artis Inggris: Islam Memberi Saya Kedamaian
"Mereka yang mencari ketenaran dengan menyerang keyakinan miliaran orang hanya akan mendapat ketenaran. Mereka tidak meremehkan Islam atau mengurangi pengaruhnya di seluruh bangsa. Hak umat Islam untuk mengungkapkan kemarahan dan kejijikan pada tindakan seperti itu, tetapi protes mereka tidak boleh mengarah pada hasutan," katanya melanjutkan.
Osama Al Sharif menyebut perdebatan tentang kebebasan berbicara harus terus berlanjut dan tidak boleh dimulai hanya ketika ada seorang fanatik menghina Muslim dan keyakinan mereka. Kenyataannya, ada batasan untuk kebebasan berbicara di Barat. Nemun, ketika isu penghinaan terhadap Islam diangkat, para politikus mengatakan, mereka tidak bisa berbuat apa-apa.
Strategi dan Rencana Aksi PBB untuk Ujaran Kebencian mendefinisikan ujaran kebencian sebagai …“segala jenis komunikasi dalam ucapan, tulisan, atau perilaku, yang menyerang atau menggunakan bahasa yang menghina atau diskriminatif sehubungan dengan seseorang atau kelompok berdasarkan siapa mereka. Dengan kata lain, berdasarkan agama, etnis, kebangsaan, ras, warna kulit, keturunan, jenis kelamin, atau faktor identitas lainnya.”
Hingga saat ini, PBB mengakui tidak ada definisi universal tentang ujaran kebencian di bawah hukum hak asasi manusia internasional. Konsep tersebut masih dalam pembahasan, terutama terkait dengan kebebasan berpendapat dan berekspresi, non-diskriminasi, dan kesetaraan.