Senin 30 Jan 2023 13:45 WIB

Kunjungan Blinken Dibayangi Kekerasan di Tepi Barat

Kunjungan Blinken dibayangi sikap tidak saling percaya.

Rep: Lintar Satria/ Red: Esthi Maharani
Kunjungan Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken ke kawasan pada pekan ini dibayangi sikap tidak saling percaya.
Foto: ANTARA/Nyoman Hendra Wibowo
Kunjungan Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken ke kawasan pada pekan ini dibayangi sikap tidak saling percaya.

REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Lonjakan kekerasan antara Israel dan Palestina serta respon kedua belah pihak menjadi tantangan bagi pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden. Kunjungan Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken ke kawasan pada pekan ini dibayangi sikap tidak saling percaya.

Kunjungan Blinken sudah diperkirakan menunjukkan ketegangan atas perbedaan sikap antara Washington dan pemerintah ultra sayap kanan Benjamin Netanyahu. Insiden mematikan empat hari terakhir akan membuat tersebut kunjungan itu akan semakin rumit.

Baca Juga

Langkah diplomasi Blinken dimulai Senin (30/1/2023) setelah kunjungan singkatnya ke Mesir yang dibayangi kian memburuknya situasi keamanan di Israel dan Tepi Barat. Pejabat pemerintah AS tema utama pembicaraan Blinken dengan Netanyahu dan Presiden Palestina Mahmoud Abbas adalah "de-eskalasi."

Tapi Blinken akan tiba satu hari setelah Kabinet Keamanan Netanyahu mengumumkan langkah keras terhadap Palestina sebagai respon penembakan yang menewaskan tujuh warga Israel dan melukai lima lainnya di Yerusalem. Sebelumnya serangan Israel ke Tepi Barat menewaskan 10 orang Palestina.

Januari tahun 2023 menjadi salah satu bulan paling mematikan di daerah pendudukan Tepi Barat dan Yerusalem timur dalam beberapa tahun terakhir. Sementara kunjungan Blinken yang diikuti penasihat keamanan nasional Gedung Putih Jake Sullivan dan Direktur Pusat Badan Intelijen (CIA) AS William Burns sudah direncanakan beberapa pekan sebelumnya.

Blinken menjadi pejabat pemerintah AS paling senior yang berkunjung ke Israel sejak Netanyahu kembali berkuasa bulan lalu dan pertama sejak lonjakan kekerasan terjadi.

Washington keberatan dengan kebijakan-kebijakan keras pemerintah sayap kanan Israel dan perlawanan mereka pada solusi dua negara. Tapi pemerintah AS belum mengambil langkah balasan terhadap penyegelan dan pembongkaran rumah-rumah dan mencabut jaminan sosial keluarga pelaku kekerasan Palestina.

Salah satu yang mengkhawatirkan adalah janji Netanyahu "memperkuat" warga pemukiman ilegal di Tepi Barat, membangun di tanah yang diklaim orang Palestina untuk menjadi bagian negaranya di masa depan.

Menteri Keuangan Israel Bezalel Smotrich yang berasal dari ultra kanan, mengatakan ia ingin menggelar pembangunan baru di bagian strategis di Tepi Barat yang disebut E1. AS berulang kali menghalangi upaya Israel melakukan pembangunan di daerah tersebut.

Namun pemerintah AS mengkritik keputusan Abbas menangguhkan kerjasama keamanan Palestina dengan Israel. Usai lonjakan kekerasan di Tepi Barat.

"Kami ingin kedua pihak tidak menahan kerjasama keamanan tapi untuk memperkuat koordinasi keamanan, kami mendesak de-eskalasi dan situasi yang lebih tenang," kata Asisten Menteri Luar Negeri AS wilayah Timur Dekat, Barbara Leaf, Ahad (29/1/2023).

Sebelum bertemu dengan Blinken, pada Ahad kemarin Netanyahu mengatakan respon Israel tidak ditunjukan untuk memperburuk ketegangan.

"Kami tidak mencari eskalasi, tapi kami mempersiapkan semua skenario, jawaban kami pada terorisme adalah tangan yang kuat dan berat, respon yang cepat dan tepat," katanya di rapat Kabinet.

Palestina dan beberapa kelompok hak asasi manusia yakin tindakan Israel membongkar rumah-rumah keluarga pelaku penyerangan merupakan hukuman kolektif dan melarang hukum internasional. Gejolak ini menambah beban agenda diplomasi Blinken yang sudah dibebani perang Rusia di Ukraina, ketegangan dengan Iran dan krisis di Lebanon dan Suriah. Semuanya memberatkan hubungan AS-Israel.

Meredakan masalah-masalah itu atau setidaknya menghindari masalah baru merupakan misi Blinken meski Netanyahu menolak dua prioritas utama Biden di Timur Tengah: mengaktifkan kembali perjanjian nuklir Iran 2015 dan memulai kembali perundingan damai Israel-Palestina.

Meski  kedua masalah itu masih mengalami kebuntuan dan kecil harapan negosiasi dilanjutkan. Pemerintah AS terus mendorong dua prioritas itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement