REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penerapan demokrasi di negara-negara Eropa terus menjadi sorotan. Salah satunya tentang sering munculnya sikap 'double standard' negara-negara Eropa ketika ada tindakan-tindakan penghinaan yang menargetkan umat beragama.
Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Golkar, Dave Akbarshah Fikarno atau Dave Laksono mengatakan, negara-negara Eropa dengan dalih demokrasi selalu mendorong kebebasan beragama kepada negara lain. Bahkan, mendorong agenda-agenda LGBTQ++.
Tapi, ia merasa, mereka memiliki data standar yang kerap memaksakan tokoh-tokoh agama untuk melakukan hal-hal yang mereka kehendaki. Misalnya, wajib menikahkan pasangan LGBTQ++, baik itu kepada pendeta, imam atau tokoh-tokoh agama lain.
"Ketika pendeta itu menolak, mereka dianggap 'infringement of human rights," kata Dave dalam rapat kerja bersama Kementerian Luar Negeri, Senin (30/1/2023).
Padahal, ia menekankan, seorang pendeta harus melaksanakan apa saja yang mereka yakini, kebenaran yang mereka yakin dan ajaran mereka. Bahkan, ada pendeta yang sampai dicabut visanya, dicabut izinnya, hanya karena menolak menikahkan LGBT.
Contoh lain, lanjut Dave, di Swedia baru-baru ini, ada seorang tokoh politik yang membakar kitab suci Alquran karena menolak sikap politik Turki ke Swedia. Pemerintah Swedia menganggap itu sebagai demokrasi dan kebebasan berpendapat.
Hal itu ringan disampaikan tanpa berpikir tindakan tersebut merupakan salah satu penghinaan bagi umat Islam. Ada pula komentar-komentar yang ketidaksepakatan ke Israel, yang oleh negara-negara Eropa mudah sekali diberikan label anti-semitic.
"Ketika statement yang rada anti-Israel dianggap itu anti-semitic, tapi bakar Alquran boleh, ini jadi ada double standard di negara-negara Eropa," ujar Dave.
Dave berpendapat, Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) bisa turut menyuarakan persoalan itu. Sebab, ketika negara-negara Eropa ini mau mendorong demokrasi, mereka harus mampu pula intropeksi diri dan melihat dari dua sisi.
Menurut Dave, Indonesia sebagai negara yang plural, walaupun non-sekuler, harus bisa mendorong pandangan-pandangan ini. Artinya, jangan sampai sikap 'double standard' itu dibiarkan dan malah akan menekan atau menghina umat beragama.