REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih menilai kejahatan jelang penyelenggaraan pemilu yang paling fatal dikhawatirkan terjadi bukan hanya soal kecurangan peserta pemilu dan para pendukungnya. Namun, kejahatan paling merusak kualitas demokrasi adalah kejahatan dan kecurangan yang dilakukan pihak penyelenggara pemilu itu sendiri.
Dalam hal ini KPU dan Bawaslu dari tingkat pusat hingga daerah dan DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu). Peneliti ICW Kurnia Ramadhana yang juga bagian dari Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih menilai sejak tahapan awal hingga verifikasi faktual, pihaknya menemukan bukti kejahatan dan kecurangan yang melibatkan oknum penyelenggara pemilu.
Bukti ini didapat karena pihaknya melakukan advokasi berkaitan dengan indikasi kecurangan pemilu yang banyak ditemukan di daerah. Hasil advokasi yang didapat, ungkap dia, banyak publikasi dan bukti yang telah dikawal koalisi masyarakat sipil sampai saat ini belum ada solusi yang konkret dari penyelenggara pemilu.
"Kalau kita lihat stakeholder yang bisa mengatasi berbagai kejahatan dan kecurangan dalam ya KPU, Bawaslu, dan DKPP. Sayangnya lembaga ini benar-benar tidak bisa diharapkan untuk menuntaskan permasalahan kejahatan dan kecurangan pemilu," kata Kurnia, dalam diskusi Tolak Penyelenggaraan Pemilu Curang, Senin (30/1/2023).
Kurnia mengeklaim, kesimpulan ini bukan tanpa dasar, misalnya yang pertama Bawaslu. Ia mengatakan sampai detik ini Koalisi Masyarakat Sipil tidak melihat Bawaslu menggunakan serangkaian bukti yang sudah ada untuk mengusut kecurangan, khususnya saat verifikasi partai politik. Padahal bukti itu tersebar dan mudah didapatkan dan mudah didengar, karena bukti itu hadir di masyarakat dalam banyak bentuk.
"Ada dokumen administrasi terkait dengan kecurangan dalam verifikasi, ada rekaman suara yang diduga merupakan suara dari Ketua KPU Hasyim Asyari, ada juga video pengajuan dari penyelenggara pemilu di daerah yang mengkonfirmasi, sebenarnya bukan hanya perintah tapi juga intimidasi kepada penyelenggara pemilu di daerah yang tidak berbuat sebagaimana diperintahkan oleh KPU pusat," tegas Kurnia.
Sayangnya, lanjut dia, perintah itu bukan perintah yang sesuai aturan, justru perintah yang melanggar hukum, karena ada indikasi manipulasi dibalik perintah tersebut. Karena itu, ia mengatakan Bawaslu tentu seharusnya tidak bisa hanya menunggu bola saja, menunggu adanya pengaduan saja, tapi juga harus jemput bola. "Dan itu yang tidak terlihat sekarang," imbuhnya.
Ia justru melihat ada yang aneh ketika bukti itu tersebar di tengah masyarakat, Bawaslu menyebut tidak menemukan adanya praktek pelanggaran dalam verifikasi partai politik. Bukan hanya Bawaslu, Kurnia juga menyebut di DKPP, ada pelanggaran hukum acara, ketika mereka tidak mengikuti masa waktu untuk mengabarkan kepada pelapor bagaimana proses pemeriksaan administrasinya.
Dari serangkaian permasalahan itu, maka kecurangan juga termasuk dari KPU yang begitu tersebar ada video pengakuan dari penyelenggara pemilu daerah. "Dimana ada intimidasi verbal yang dilakukan oleh Komisioner KPU pusat Idham Holik soal rumah sakit atau yang tidak ikut perintah KPU pusat akan dirumahsakitkan. Itu juga tidak ada penjelasan lanjutan dari KPU," terangnya.
Jadi, menurut Kurnia, dari aspek penyelenggara pemilu, tiga lembaga tersebut baik Bawaslu, DKPP terlebih KPU itu tidak mampu memperlihatkan keinginan meluruskan permasalahan ini. Kurnia juga menyebut, kondisi ini semakin jelas ketika ada salah satu video dari yang mengindikasi keterlibatan pihak istana, yang seharusnya ditelusuri DKPP.
"Bahwa bukti-bukti tersebut adalah petunjuk yang harus didalami oleh DKPP. Persoalannya ini didiamkan saja, dan kami khawatir ada intrik-intrik politik dalam dugaan penanganan kode etik ini," ujarnya.
Karena itu, ia khawatir bukan hanya kejahatan pemilunya saja yang terstruktur, sistematis dan masif karena dilakukan secara berjenjang dari KPU pusat ke daerah. Koalisi juga khawatir ternyata perlindungan atas kecurangan ini dilakukan secara terstruktur dan sistematis. Sebab bukti-bukti selama ini yang beredar tidak juga didalami oleh Bawaslu dan DKPP.
Padahal kalau negara ini berpemilu mengacu pada konsep kelembagaan, melandaskan pada peraturan perundang-undangan, tidak boleh ada pihak atau cabang kekuasaan manapun yang diperkenankan mengintervensi tahapan penyelenggaraan pemilu. Terlebih adalah pihak eksekutif.
"Itu baru di tahapan awal, belum lagi di tahapan selanjutnya. Karena ada banyak masalah di tahapan pemilu selanjutnya, seperti soal rekrutmen dari penyelenggara pemilu daerah," tuturnya.