Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Aniek Nurfitriani

Sabar Seharusnya Tidak Berbatas

Curhat | Monday, 30 Jan 2023, 21:09 WIB
Gambar: Potongan Puzzle (Sumber: https://pixabay.com)

Sering kita mendengar perkataan: "Sabarku ada batasnya!" untuk mengungkapkan bahwa kita telah lama bersabar, tapi akhirnya pertahanan diri kita runtuh.

Namun, apakah benar sabar ada batasnya?

Jika sabar ada batasnya, Nabi Muhammad SAW tidak akan terus memberi makan seorang kakek buta yang selalu memaki-maki Nabi SAW tanpa mengetahui siapa yang memberinya makan.

Jika sabar ada batasnya, Nabi SAW juga mungkin akan memberontak saat dizalimi terus-menerus oleh orang-orang kafir Quraisy.

Jika sabar ada batasnya, mungkin tidak akan ada hadits berbunyi "jangan marah" yang diulang-ulang pengucapannya.

Namun, apakah bisa seseorang memiliki keluasan hati untuk terus bersabar? Apakah bersabar berarti tidak melakukan apapun untuk mempertahankan hak kita?

Jika tanpa pertolongan Allah, bisa saja kita tidak diberi keluasan hati untuk bersabar. Ya, semua yang kita jalani dalam kehidupan, tentu saja, merupakan pertolongan Allah. Kita mah siapa sih? Hanya manusia biasa yang lemah dan tanpa memiliki kuasa apapun.

Hari ini, kesabaran saya diuji berkali lipat dibandingkan dengan hari-hari lainnya. Namun, jika tanpa pertolongan Allah, mungkin saya akan marah, jengkel, dan menangis.

Kejadian pertama yang akan membuat siapapun marah adalah pelecehan verbal: atasan saya secara tersirat mengatakan hal yang berhubungan dengan kegiatan seksual. Oleh karena saya tidak pandai berbicara, saya hanya diam sebagai respon penolakan saya atas perkataannya tersebut. Beruntungnya, beliau lekas menyadari ketidaknyamanan saya.

Kejadian kedua, saya mengalami penyerobotan antrian berulang kali saat tes pemeriksaan kesehatan. Saat mengantri untuk masuk ke ruang pemeriksaan EKG, setiap orang yang keluar dari ruangan tersebut akan memanggil teman-temannya untuk diperiksa selanjutnya. Jadilah saya seharusnya selesai pukul 11.00 malahan molor hingga pukul 12.30.

Pada sesaat sebelum waktu istirahat, saya mempertanyakan antrian yang tidak jelas urutannya. Memang saat itu, saya sudah tidak sabar dan berjalan mondar-mandir. Kondisi lapar, haus, dan kesehatan belum stabil paska-operasi membuat mata saya berkunang-kunang dan lemas.

Lalu, sekitar pukul 12.15, petugas mengatakan siapa yang belum dan meminta nomor urut di angka 80-an. Saya maju dan mengatakan bahwa urutan saya 57. Peserta lain otomatis mundur untuk mempersilakan saya terlebih dahulu.

Kejadian terakhir, saya dan dua pegawai baru lainnya terkena semprot bagian SDM akibat perilaku kami yang tidak mematuhi perintah atasan. Saya bingung terhadap alasan kemarahan ini, sebab saya selalu cepat tanggap jika atasan memberikan perintah. Hanya saja memang banyak keluhan dari rekan kerja lama untuk dua teman saya. Tapi karena saya juga pegawai baru, ya kenalah semua. Mungkin biar adil.

Sempat merasa "jiper" juga, karena adanya ancaman untuk menangguhkan pengangkatan pegawai. Saya berpikir, "Ya ampun, usia saya sudah tidak muda lagi. Mau mencari kerja di mana lagi? Manalah pengalaman kerja saya tidak banyak.". Walaupun akhirnya ketakutan ini diredakan oleh jawaban rekan kerja yang sudah lama tentang perkataan SDM biasanya hanya sebuah gertakan.

Ah, jikalau sabar ada batasnya, saya tidak mungkin akan menuliskan seluruh kejadian tersebut.

Jikalau sabar ada batasnya, saya tidak mungkin pulang kerja lalu tertawa-tawa bersama Ibu saya dan meninabobokan anak bungsu saya.

Ya, sabar tidak ada batasnya, karena kesabaran merupakan pertolongan Allah, anugerah-Nya.

Sebab Allah akan selalu menolong hamba-hamba-Nya yang berdoa dan mengingat-Nya.

Bukan, bukan saya mengatakan bahwa saya terus mengingat Allah dan menyatakan bahwa diri ini seorang saleh. Hanya saja, kebetulan ketika di perjalanan pulang dari tempat tes kesehatan, saya mengingat perkataan mentor saya tentang berdoa pada Allah. Semoga Allah memberkahi para mentor yang meluangkan waktu untuk mengajari saya mengenai makna kehidupan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image