REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara, Bambang Noroyono
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Sugeng Hariadi mengakui situasi yang dihadapi terdakwa kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat, Richard Eliezer atau Bharada E, menimbulkan dilema yuridis. Diketahui sebelumnya, tim JPU menuntut Eliezer 12 tahun penjara.
"Bahwa kondisi ini menimbulkan dilema yuridis karena di satu sisi, terdakwa Richard Eliezer dikategorikan sebagai seorang saksi atau pelaku yang bekerja sama," kata Jaksa Sugeng Hariadi di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Jakarta, Senin (30/1/2023).
Jaksa menilai keberanian dan kejujuran Eliezer telah berkontribusi membongkar kejahatan yang direncanakan untuk membunuh Yosua. Selain itu, keberanian Eliezer juga telah berkontribusi dalam membongkar skenario pengelabuan yang dibuat oleh pelaku utama pembunuhan,Ferdy Sambo.
"Namun, di sisi lain, peran dari terdakwa Richard Eliezer sebagai eksekutor penembakan terhadap korban Nofriansyah Yosua Hutabarat perlu juga dipertimbangkan secara jernih dan objektif," kata Sugeng.
Tuntutan tim JPU terhadap Eliezer sebesar 12 tahun penjara memicu sejumlah reaksi negatif dari berbagai pihak. Bahkan, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) meminta jaksa untuk melakukan revisi terhadap tuntutan mereka.
LPSK menginginkan agar tuntutan kepada Eliezer lebih rendah daripada terdakwa lainnya, seperti Putri Candrawathi, Kuat Ma'ruf, dan Ricky Rizal yang masing-masing dituntut delapan tahun pidana penjara. Tim jaksa berpendapat tinggi dan rendahnya tuntutan yang mereka ajukan kepada majelis hakim terhadap terdakwa Richard Eliezer sudah memenuhi asas kepastian hukum dan rasa keadilan.
"Tim penuntut umum mempertimbangkan peran terdakwa Richard Eliezer sebagai eksekutor atau pelaku yang melakukan penembakan kepada korban Yosua sebanyak tiga, empat kali; sehingga berdasarkan hal tersebut, kami, tim penuntut umum, menuntut terdakwa Richard Eliezer selama 12 tahun penjara," ujar Sugeng.
Dalam nota pembelaan terhadap tuntutan atau pleidoi pekan lalu, Bharada Richard Eliezer mengaku tak dapat menolak perintah Ferdy Sambo untuk menembak Brigadir J. Menurut dia, sebagai ajudan, perintah penembakan tersebut tak dapat ia hindari mengingat pemberi perintah pada saat itu adalah atasannya sebagai Kadiv Propam Polri dengan pangkat Inspektur Jenderal (Irjen).
“Sebagai seorang prajurit Brimob, dengan latar belakangnya adalah para militer, saya dididik untuk taat dan patuh, serta tidak mempertanyakan perintah atasan saya,” kata Richard.
Richard menyadari, penembakan yang dilakukan di Duren Tiga 46, Jumat (8/7/2022) tersebut, berujung pada kematian Brigadir J, rekannya sesama ajudan. Pun berujung pada tindak pidana pembunuhan berencana yang menyeret pemuda 24 tahun itu sebagai terdakwa.
Tetapi kata Richard, jika perbuatannya menjalankan perintah penembakan tersebut berujung pada dirinya masuk penjara, harapannya kepada majelis hakim untuk memberikan keadilan. “Apabila dianggap ketaatan dan kepatuhan saya (terhadap atasan) yang membabi buta, maka saya menyerahkan kepada kebijaksanaan majelis hakim,” ujar Richard.