REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ketua Umum Pengurus Besar Al Jam'iyatul Washliyah, KH Dr Masyhuril Khamis menyatakan, putusan MK yang menolak permohonan uji materi pasal tentang nikah beda agama selaras dengan rumusan yang telah diputuskan para ulama. Pasal yang dimaksud ialah Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengenai pernikahan beda agama.
"Terkait gugatan tersebut di mana MK menolaknya, tentu kita berterima kasih, artinya rumusan yang sudah diputuskan para ulama menunjukkan sesuai dengan yang diputuskan MK," tutur dia kepada Republika.co.id, Rabu (1/2/2023).
Kiai Masyhuril menjelaskan, untuk saat ini dan seterusnya, pendapat haram dan tidak sahnya pernikahan antaragama dalam semua kondisi lebih relevan dan mendatangkan mashlahat dibandingkan dengan yang membolehkan. Misalnya dalam kasus laki-laki Muslim dengan perempuan ahli kitab.
"Karena jika itu terjadi, maka nasib anaknya akan lebih cenderung kepada ahli kitab. Dan kemungkinan besar akan dididik dengan cara mereka. Karena ibu adalah sekolah pertama," paparnya.
Selain itu, secara sosial, pernikahan beda agama akan cenderung mendatangkan perpecahan dan perceraian. "Karenanya kita sangat mendukung keputusan MK tersebut dan kami berterimakasih," ujarnya.
Pemohon uji materi adalah E. Ramos Petege, yang merupakan seorang pemeluk Katolik, sementara perempuan yang ingin dinikahinya beragama Islam. "Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Prof Anwar Usman saat membacakan amar putusan perkara Nomor 24/PUU-XX/2022 di Jakarta, Selasa (31/1/2023).
Hakim MK Prof Enny Nurbaningsih mengatakan bahwa hak asasi manusia merupakan hak yang diakui Indonesia yang kemudian tertuang dalam UUD 1945 sebagai hak konstitusionalitas warga negara. Meskipun demikian, hak asasi manusia berlaku di Indonesia haruslah sejalan dengan falsafah ideologi Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila sebagai identitas bangsa.