REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Institut Riset untuk Teknik Mesin Presisi (TsNIITochMash) telah mengubah orientasi ekspor produknya ke negara-negara yang bersahabat dengan Moskow. Kelompok manufaktur senjata, Kalashnikov Concern, mengatakan, perubahan orientasi ekspor senjata ini dimulai pada 2023.
"Sebagai hasil dari negosiasi teknis dan komersial dengan mitra, sejumlah kontrak telah disepakati, yang pelaksanaannya direncanakan pada tahun 2023," ujar pernyataan Kalashnikov Concern, dilaporkan Anadolu Agency, Selasa (31/1/2023).
Kalashnikov Concern mengatakan, TsNIITochMash telah menyiapkan lebih dari 10 penawaran komersial untuk pasokan senjata dan amunisi, terutama kepada negara-negara anggota Organisasi Perjanjian Keamanan Kolektif (CSTO). CSTO adalah aliansi militer antar pemerintah yang didirikan pada tahun 1992 dan terdiri dari enam bekas negara Soviet: Armenia, Belarus, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Rusia, dan Tajikistan.
"Dalam beberapa tahun terakhir, lebih dari 30 kontrak ekspor untuk penyediaan produk yang dikembangkan dan diproduksi di TsNIITochMash telah diselesaikan dan dilaksanakan dengan lebih dari 25 negara dekat dan jauh di luar negeri," kata pernyataan Kalashnikov Concern.
Pada Agustus 2022 lalu, Presiden Vladimir Putin mengatakan, Rusia siap menjual senjata canggih kepada sekutu secara global. Rusia juga siap bekerja sama dengan sekutu dalam mengembangkan teknologi militer.
Putin menekankan, persenjataan buatan Rusia cukup kompetitif selama bertahun-tahun. Rusia memiliki hubungan yang kuat dengan Amerika Latin, Asia dan Afrika. Rusia siap untuk memasok senjata ringan hingga kendaraan lapis baja, artileri, pesawat tempur dan drone kepada negara-negara di wilayah tersebut. Rusia juga akan menawarkan senjata presisi tinggi dan robotika.
"Hampir semuanya (persenjataan buatan Rusia) telah digunakan lebih dari satu kali dalam operasi tempur nyata. Banyak dari persenjataan tersebut secara signifikan lebih unggul dalam hal karakteristik taktis dan teknis dari senjata lainnya," ujar Putin.
Rusia menempati urutan kedua setelah Amerika Serikat dengan penjualan senjata sekitar 15 miliar dolar AS per tahun, atau hampir seperlima dari pasar ekspor global. Menurut Institut Penelitian Perdamaian Internasional Stockholm, dari 2017-2021, sebanyak 73 persen penjualan senjata Rusia masuk ke empat negara yaitu India, China, Mesir, dan Aljazair. Analis militer Barat mengatakan, invasi Rusia di Ukraina dapat merusak penjualan senjata yang diunggulkan Putin.
"Dengan runtuhnya hubungan ekonomi dengan Barat, Rusia bahkan lebih bergantung pada perdagangan senjata daripada sebelumnya, jadi tidak mengherankan jika Putin sangat ingin mempromosikannya ke sebanyak mungkin pelanggan non-Barat," kata dosen senior di Departemen Studi Perang di King's College London, Ruth Deyermond.
"Masalah besar baginya adalah bahwa perang Rusia melawan Ukraina telah menjadi bencana bagi kredibilitas militer Rusia, kinerja mereka telah menjadi promosi yang sangat buruk untuk senjata mereka," tambah Deyermond.