REPUBLIKA.CO.ID, AUCKLAND -- Banjir yang melanda Auckland, Selandia Baru mengakibatkan sejumlah kerugian. Di antara mereka yang terdampak adalah para imigran Muslim.
Untuk membantu meringankan duka, Women's Ethnic Trust Selandia Baru mencob membantu para migran baru dan mereka yang rentang mendapatkan bantuan yang mereka butuhkan. Diketahui badai dahsyat yang menyebabkan banjir bandang dan longsor ini telah memakan empat korban jiwa.
Seorang wanita hamil yang tiba di Selandia Baru tahun lalu, termasuk di antara mereka yang kehilangan tempat tinggal dan tertekan akibat bencana ini. Manajer lembaga tersebut, Asya Mohamed Abeid, mengatakan dia menerima telepon dari sang suami yang khawatir tinggal di rumah mereka yang rusak akibat banjir.
"Wanita ini tidur di koridor dan sekarang sedang menghadapi trauma. Satu-satunya yang dia cari adalah apakah dia bisa mendapatkan ruang pribadi untuk dia dan suaminya," kata Abeid, dikutip di Radio New Zealand, Rabu (1/2/2023).
Ia pun berusaha melakukan komunikasi dengan sang suami. Dari informasi yang didapat, disebutkan sang istri bahkan tidak dapat berbicara dan terus menangis, serta merasa sedih karena tidak bisa melakukan apapun.
Sang suami dan keluarga pun berpikir dan mencari cara agar menemukan tempat, agar istrinya yang tengah mengandung bisa merasa aman dan terlindungi. Abeid lantas mengatakan pasangan itu tidak tahu ke mana harus mencari bantuan. Lembaganya pun berusaha untuk membantu menghubungkan mereka dengan pihak lainnya.
May Road School di Mt Roskill membuka aulanya sebagai tempat yang aman bagi orang-orang yang dirujuk oleh perwalian, termasuk untuk sebuah keluarga dari Afghanistan yang rumahnya tidak lagi dapat dihuni. Kepala Sekolah Lynda Stuart mengatakan, aula yang mereka punya adalah tempat di mana para pengungsi, Muslim khususnya, bisa merasa aman.
"Mereka membutuhkan tempat, tempat kering yang hangat dan kami memiliki aula sekolah. Dan saya akan mencatat itu bukan aula sekolah paling mencolok di Auckland, tetapi hangat dan kering," ujarnya.
Stuart mengatakan mereka bekerja sama dengan komunitas migran dan Muslim, untuk menyediakan ruang yang nyaman bagi mereka yang terkena dampak banjir Tempat tidur dan makanan telah disediakan oleh masyarakat. Jika diperlukan, para imigran perempuan ini bisa memiliki tempat terpisah dari laki-laki.
“Tentu saja ada kepekaan di sana dan kami dipandu oleh mereka dan apa yang mereka butuhkan. Kebutuhan fisik, sabun dan perlengkapan mandi, serta makanan bisa disediakan, tetapi benar-benar menyadari kebutuhan budaya sangatlah penting,” lanjut dia.
Saat ini sebuah upaya tengah dilakukan untuk membantu para imigran berlindung di akomodasi darurat sekolah. Ketua yayasan Fadumo Ahmed mengatakan, dia dan timnya prihatin terhadap mereka yang bahasa Inggrisnya menjadi penghalang mengakses bantuan.
"Bagi sebagian orang sangat sulit untuk melewati sistem. Begitu mereka kehilangan rumah, mereka menjadi korban. Mereka butuh bantuan," katanya.
Ia pun menyebut para imigran ini kerap merasa terisolasi dan membutuhkan lebih banyak bantuan. Pihaknya pun berusaha menghormati budaya yang ada, serta memahami jika mereka memiliki kebutuhan yang berbeda akan makanan dan pakaian yang dikenakan.
Yayasan tersebut memiliki 3.500 orang di bawah perlindungan dan bantuannya di wilayah Auckland. Banyak di antaranya adalah perempuan atau penyandang disabilitas, tetapi semuanya adalah migran.
Bagi sebagian orang, Ahmed mengatakan bencana banjir mengingatkan mereka pada peristiwa tragis yang mereka alami sebelum tiba di Selandia Baru. Mereka merasa takut dan kembali mengingat apa yang terjadi sebelumnya, membuatnya membutuhkan lebih banyak perhatian.
Ahmed pun meminta pemerintah berbuat lebih banyak dalam upaya membantu para migran yang tidak memenuhi syarat mendapatkan dukungan pemerintah. "Kami di sini, kami menunggu, silakan datang dan bantu keluarga yang rentan ini," ucap dia.