REPUBLIKA.CO.ID, NAYPYITAW -- Warga Myanmar menggelar aksi protes secara diam-diam untuk menandai peringatan dua tahun kudeta militer, Rabu (1/2/2023). Para pemimpin sipil di pengasingan berjanji untuk mengakhiri 'perebutan kekuasaan ilegal' oleh militer.
Militer Myanmar akan mengeluarkan pernyataan pada Rabu untuk memutuskan apakah akan memperpanjang keadaan darurat. Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional (NDSC) melakukan pertemuan pada Selasa (31/1/2023) untuk membahas situasi di Myanmar termasuk tindakan Pemerintah Persatuan Nasional (NUG), yang disebut sebagai pemerintahan bayangan yang dibentuk oleh lawan. NUG juga disebut sebagai pasukan pertahanan rakyat yang melawan tentara Myanmar.
"Keadaan yang tidak biasa dari negara di mana mereka melakukan upaya untuk merebut kekuasaan negara dengan cara pemberontak dan teror (dibahas)," kata laporan media Myawaddy milik militer pada Selasa.
Myawaddy melaporkan, NDSC berencana merilis 'pernyataan yang diperlukan' pada 1 Februari. Namun Myawaddy tidak memberikan rincian lebih lanjut.
Militer Myanmar mengambil alih kekuasaan pada Februari 2021. Militer mengeluhkan kecurangan dalam pemilihan umum yang berlangsung pada November 2020 yang dimenangkan oleh Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi. Kelompok pengawas pemilu independen tidak menemukan bukti kecurangan tersebut.
Junta, yang dipimpin oleh Jenderal Min Aung Hlaing, mengatakan, tindakan keras yang dilakukan militer adalah kampanye yang sah melawan "teroris". Min Aung Hlaing menyatakan keadaan darurat selama satu tahun ketika mengambil alih kekuasaan. Sejak itu, dia diperpanjang status darurat sebanyak dua kali selama enam bulan. Fase terakhir berakhir pada Rabu (1/2/2023).
Foto yang beredar di media sosial menunjukkan jalan-jalan di Kota Yangon dan Mandalay sepi. Menurut penentang kudeta, ini adalah bentuk protes diam-diam terhadap junta. Sementara itu di Thailand, ratusan pengunjuk rasa berkumpul di luar Kedutaan Myanmar di Bangkok. Para aktivis juga melakukan protes di Ibu Kota Filipina, Manila.
"Kami adalah rakyat, kami memiliki masa depan. Revolusi harus menang," teriak pengunjuk rasa di Bangkok.
Amerika Serikat dan sekutunya termasuk Inggris, Australia, dan Kanada memberlakukan sanksi lebih lanjut terhadap Myanmar pada Selasa. Sementara Kepala Sekretaris Kabinet Pemerintah Jepang, Hirokazu Matsuno pada Rabu mendesak pemerintah militer untuk memulihkan sistem politik yang demokratis.
Junta telah berjanji untuk mengadakan pemilihan umum pada Agustus tahun ini. Media pemerintah baru-baru ini mengumumkan persyaratan yang sulit bagi partai-partai untuk ikut berpartisipasi dalam pemilu. Menurut para kritikus, langkah itu dapat mengesampingkan lawan-lawan militer dan memperkuat cengkeraman junta dalam politik.
"Selama dua tahun, rakyat Myanmar berdiri bersama, mengangkat kepala, dan dengan gigih menentang Min Aung Hlaing dan upaya militer Myanmar untuk menggulingkan pemerintah terpilih," kata NUG dalam sebuah pernyataan.
"Bersama dengan sekutu etnis yang telah menentang militer selama beberapa dekade, kami akan mengakhiri perebutan kekuasaan ilegal oleh militer," ujar NUG menambahkan.
Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) Suu Kyi dihancurkan oleh kudeta, dengan menggambarkan pemilihan umum yang direncanakan junta ahun ini sebagai "pemilihan palsu". Pemilihan umum itu juga dianggap sebagai kepura-puraan oleh pemerintah Barat.
"Anda tidak dapat memiliki pemilihan yang bebas dan adil ketika Anda menangkap, menahan, menyiksa, dan mengeksekusi para pemimpin oposisi," kata Pelapor Khusus PBB untuk Myanmar, Tom Andrews kepada wartawan di PBB pada Selasa (31/1/2023).
Menurut data PBB, sekitar 1,2 juta orang telah mengungsi dan lebih dari 70.000 telah meninggalkan Myanmar sejak kudeta. PBB menuduh militer melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.