Rabu 01 Feb 2023 14:56 WIB

Inggris Hadapi Aksi Mogok Massal Pekerja Lintas Sektor

Pemogokan massal ini menyebabkan gangguan publik yang cukup besar.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nidia Zuraya
 Para pekerja NHS memprotes piket di luar University College Hospital di London, Inggris, 18 Januari 2023.Inggris kembali menghadapi aksi mogok nasional para pekerja lintas sektor pada Rabu (1/2/2023).
Foto: EPA-EFE/Neil Hall
Para pekerja NHS memprotes piket di luar University College Hospital di London, Inggris, 18 Januari 2023.Inggris kembali menghadapi aksi mogok nasional para pekerja lintas sektor pada Rabu (1/2/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Inggris kembali menghadapi aksi mogok nasional para pekerja lintas sektor pada Rabu (1/2/2023). Sekitar setengah juta guru, pegawai negeri, pengemudi kereta api dan dosen perguruan tinggi berpartisipasi dalam aksi mogok terkoordinasi paling besar dalam satu generasi.

Pemogokan massal ini menyebabkan gangguan publik yang cukup besar. Sejumlah sekolah tutup, dan militer bersiaga untuk membantu di perbatasan Inggris. Selain itu, tidak ada layanan kereta api yang beroperasi di sebagian besar wilayah Inggris.

Baca Juga

Para pemimpin serikat memperkirakan 500.000 orang akan ambil bagian dalam aksi mogok tersebut. Ini adalah jumlah tertinggi setidaknya selama satu dekade. Para pemimpin serikat pekerja mengatakan, bakal ada aksi unjuk rasa menentang rencana undang-undang baru untuk mengekang pemogokan di beberapa sektor

"Setelah bertahun-tahun pemotongan gaji yang brutal, perawat, guru, dan jutaan pegawai negeri lainnya telah melihat standar hidup mereka hancur, dan siap menghadapi lebih banyak kesengsaraan gaji," kata Sekretaris Jenderal Kongres Serikat Buruh (TUC), Paul Nowak.

"Alih-alih merencanakan cara baru untuk menyerang hak mogok, menteri harus menetapkan kenaikan gaji, dimulai dengan kenaikan gaji yang layak untuk pekerja di seluruh sektor publik," ujar Nowak menambahkan.

Pemerintah mengatakan, mitigasi akan dilakukan tetapi aksi mogok memiliki dampak yang signifikan. "(Aksi mogok) ini akan mengganggu kehidupan orang, dan itulah mengapa kami berpikir bahwa negosiasi adalah pendekatan yang tepat," kata juru bicara Perdana Menteri Rishi Sunak kepada wartawan.

Inflasi Inggris mencapai lebih dari 10 persen atau berada di level tertinggi selama empat dekade. Inggris telah mengalami gelombang pemogokan dari berbagai sektor, mulai dari pekerja kesehatan, transportasi, hingga karyawan gudang Amazon dan staf pos Royal Mail.  Mereka menuntut kenaikan gaji di tengah mahalnya harga makanan dan energi.

Pada Rabu, sekitar 300.000 bersama dengan 100.000 pegawai negeri dari lebih dari 120 departemen pemerintah,  termasuk puluhan ribu dosen universitas dan pekerja kereta api akan melakukan aksi mogok. Sementara pekan depan perawat, staf ambulans, paramedis, penangan panggilan darurat, dan petugas kesehatan lainnya akan melakukan lebih banyak aksi mogok.

Sedangkan petugas pemadam kebakaran minggu ini juga mendukung pemogokan nasional Jajak pendapat Ipsos yang dirilis pada Rabu menunjukkan 40 persen mendukung aksi mogok dan 38 persen  menentangnya.

Pemerintah Sunak sejauh ini telah mengambil tindakan garis keras untuk mengatasi pemogokan sektor publik. Sunak mengatakan, menyerah pada tuntutan kenaikan upah yang besar hanya akan memicu inflasi. Aksi industri dapat menambah kesengsaraan politik Sunak. Survei menunjukkan publik menganggap pemerintah telah menangani pemogokan dengan buruk.

Sejauh ini ekonomi belum mendapat pukulan besar dari aksi industri. Centre for Economics and Business Research (CEBR) memperkirakan, biaya pemogokan dalam delapan bulan hingga Januari mencapai sekitar 1,7 miliar pound atau sekitar 0,1 persen dari PDB yang diharapkan. Dampak pemogokan guru diperkirakan mencapai sekitar 20 juta pound per hari.

"Perselisihan industri yang belum terselesaikan berdampak buruk pada pertumbuhan pada saat resesi diperkirakan akan segera terjadi," kata ekonom CEBR, Karl Thompson.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement