REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak gugatan terkait Presiden dan Wakil Presiden bisa memegang jabatan lebih dari dua periode. Uji materi atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 ini dimohonkan oleh Partai Beringin Karya (Berkarya).
Pasal yang diujikan oleh Partai Berkarya ialah Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
"Mengadili, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Anwar Usman ketika membacakan putusan yang disimak Republika pada Rabu (1/2/2023).
Dalam pertimbangan hukum, Hakim MK Saldi Isra mengatakan masalah pengaturan persyaratan calon Presiden dan Wakil Presiden dalam Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 disandarkan pada ketentuan UUD 1945, terutama norma Pasal 7 UUD 1945.
"Tujuan pokok perubahan UUD 1945 selama reformasi konstitusi 1999-2002, antara lain adalah menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan paham demokrasi," ujar Saldi.
Pasal 169 huruf n UU Pemilu, “Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah: n. belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama.”
Pasal 227 huruf i UU Pemilu, “Pendaftaran bakal Pasangan Calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 226 dilengkapi persyaratan sebagai berikut: i. surat pernyataan belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama.”
Saldi sempat merujuk sejarah ketatanegaraan Indonesia, di mana rumusan fleksibel Pasal 7 UUD 1945 digunakan sebagai dasar argumentasi mengangkat Presiden tanpa batasan periode pada zaman Orde Lama dan Orde Baru. Namun setelah perubahan, norma Pasal 7 UUD 1945 menjadi “Presiden dan Wakil Presiden memegang masa jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk sekali masa jabatan”. Kondisi ini bertahan hingga sekarang MK menilai tak perlu menerima uji materi Partai Berkarya.
"Karena Pasal 7 UUD 1945 telah memberikan pembatasan yang jelas ihwal masa jabatan dan periodesasi masa jabatan Presiden atau Wakil Presiden, secara normatif diperlukan pengaturan lain dalam UUD dan ditindaklanjuti dalam peraturan perundang-undangan di bawah konstitusi untuk mendukung agar pembatasan tersebut terwujud dalam proses pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presiden, terutama berkenaan dengan syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden," ujar Saldi.
Hakim MK Daniel Yusmic P. Foekh punya pendapat berbeda atas putusan ini. Daniel mengatakan, Pemohon bukan partai politik peserta Pemilu 2024.
Menurut Daniel, Pemohon juga tidak dapat membuktikan bahwa Pemohon sedang menjalin koalisi atau bergabung dengan partai politik lain untuk mengajukan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilu 2024. Fakta hukum tersebut, menurut Daniel semakin menegaskan tiadanya kerugian dan hubungan kausalitas antara kerugian Pemohon dengan berlakunya Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017. Sehingga tiada pula hak konstitusional Pemohon yang hendak dipulihkan.
"Saya berpendapat bahwa berlakunya Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 sama sekali tidak merugikan hak konstitusional Pemohon, oleh karenanya Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum dalam perkara a quo dan Mahkamah seharusnya menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima ," ujar Daniel.