REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dua penggawa timnas Indonesia Egy Maulana Vikri dan Witan Sulaeman baru saja memutuskan untuk tidak melanjutkan petualangannya di kompetisi Eropa. Egy memilih berlabuh ke klub Liga 1 Indonesia, Dewa United FC, sedangkan Witan bergabung bersama tim ibu kota Persija Jakarta.
Pengamat sepak bola nasional Kesit Budi Handoyo menilai, keputusan Egy dan Witan kembali ke Tanah Air karena pemain itu tidak mendapatkan menit bermain yang diinginkan.
"Alasannya bisa karena hanya menjadi pemain pilihan kedua sehingga hanya masuk di dalam list cadangan. Kalau dari cadangan tak pernah mendapatkan kesempatan bermain, biasanya karena pemain tersebut kalah bersaing di posisinya," ujar Kesit kepada Republika.co.id, Kamis (2/2/2023).
Kesit menambahkan, wajar jika Egy dan Witan lebih memilih pulang kampung, apalagi jika dua pemain itu merupakan pemain tim nasional Indonesia. Jarang dimainkan di klubnya akan membuat kemampuan pemain itu lambat laun menurun.
Sebelumnya juga ada striker tajam timnas jebolan Program Primavera, Kurniawan Dwi Yulianto yang bermain di kompetisi Eropa, tetapi menurut Kesit Kurniawan juga kurang bersinar.
"Kurniawan dulu berkiprah di Liga Swiss bersama Lucerne. Saat di Lucerne penampilan Kurniawan juga tidak terlalu bersinar sebelum akhirnya balik ke Indonesia," ujar Kesit menjelaskan. "Jujur saja, pemain-pemain kita belum sepenuhnya bisa bersaing di klub-klub Eropa. Kita harus sadar diri bahwa kemampuan pemain-pemain kita masih di bawah pemain-pemain Eropa."
Kesit yang juga sekum PWI DKI Jakarta menyatakan, jika mau sukses di Eropa, intinya sejak usia dini seorang pemain sudah harus mendapatkan pembinaan yang terarah. Masalahnya pembinaan pemain muda di Indonesia masih belum baik, karena tidak ditunjang oleh kompetisi yang berkesinambungan.
"Makanya tak heran jika talenta-talenta yang kita anggap bagus dan bisa mengadu nasib di luar negeri, jadi tidak bisa berkembang karena dasar pembinaan di Indonesia kurang memadai," kata Kesit.
Berbeda, menurut Kesit, dengan timnas Maroko misalnya. Pemain-pemain Maroko banyak yang lahir di luar negeri, seperti Prancis, Spanyol, dan Belanda. Achraf Hakimi, misalnya. Ia lahir di Madrid, Spanyol. Masa kecilnya dia bergabung di tim muda Real Madrid. Hakim Ziyech dan Sofyan Amarabat lahir di Belanda dan mengawali sepak bolanya di negeri itu.
"Jadi gak heran jika mereka sudah terbiasa dengan atmosfer kompetisi Eropa, dan banyak yang bermain di klub-klub terkenal Eropa. Nah, Indonesia tidak bisa disamakan dengan Maroko. Iklim sepak bola dan talenta-talenta berbeda jauh," kata Kesit menegaskan.