REPUBLIKA.CO.ID., WASHINGTON -- Amerika Serikat (AS) pada Selasa (31/1/2023) merilis paket sanksi baru terhadap pejabat Myanmar dan pihak yang disebut "kroni yang berafiliasi dengan militer" saat negara itu bersiap untuk memperingati dua tahun kudeta yang telah menyebabkan kerusuhan yang meluas.
Secara awal, AS telah menjatuhkan sanksi kepada enam individu dan tiga organisasi, termasuk otoritas pemilu negara itu, kata Departemen Keuangan AS dalam sebuah pernyataan.
Selain Komisi Pemilihan Umum, pemerintahan Biden memasukkan dua perusahaan pertambangan publik-swasta dan eksekutif Myanmar ke dalam daftar hitam, tiga pejabat energi, dua pejabat dan mantan pejabat militer, dan putri dari seorang pengusaha yang berbasis di Myanmar yang berafiliasi erat dengan militer.
Pada 1 Februari 2021, pemerintahan Aung San Suu Kyi digulingkan dalam kudeta militer setelah partainya Liga Nasional untuk Demokrasi memenangkan pemilihan nasional pada November 2020.
UNICEF mengatakan jumlah pengungsi telah meningkat menjadi lebih dari 1,5 juta dalam dua tahun terakhir.
Meski mendapat kecaman dari masyarakat internasional dan kelompok hak asasi manusia, pemindahan penduduk setempat terus berlanjut di beberapa daerah di tengah operasi rezim junta yang sedang berlangsung terhadap oposisi.
Menurut laporan PBB baru-baru ini, setidaknya 2.890 orang tewas di tangan militer dan mereka yang bekerja dengan junta.
Juru bicara Dewan Keamanan Nasional AS John Kirby mengatakan kepada wartawan bahwa rezim militer Myanmar telah "menyeret negara pada jalur bencana dan mematikan dengan kudeta militer yang brutal terhadap pemerintah negara yang dipilih secara demokratis."
"Kami akan bekerja untuk membantu memulihkan demokrasi bagi dan bagi rakyat Burma," tambahnya.